JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus mengumpulkan masukan sebelum pemerintah merilis paket kebijakan ekonomi. Kali ini, Jokowi kembali mengundang para ekonom ke Istana untuk meminta masukan terkait upaya mengatasi perlambatan ekonomi dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Ekonom Senior Bank Danamon Anton Gunawan menyebut, dalam pertemuan dengan presiden, para ekonom menyuarakan pentingnya insentif fiskal bagi dunia usaha. \"Salah satunya, penurunan pajak usaha,\" ujarnya saat ditemui di kompleks Kantor Kepresidenan kemarin (31/8).
Menurut Anton, dalam kondisi seperti saat ini, yang terpenting adalah bagaimana menggairahkan dunia usaha atau swasta, serta menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Karena itu, penurunan pajak menjadi instrumen efektif karena bakal mengurangi beban pelaku usaha, sekaligus bisa mencegah potensi kenaikan harga akibat pelemahan nilai tukar rupiah sehingga cocok dengan daya beli masyarakat. \"Jadi, dampaknya bisa dirasakan produsen hingga konsumen,\" katanya.
Ekonom yang sempat dicalonkan sebagai deputi gubernur senior Bank Indonesia (BI) itu menyebut, pemerintah tidak perlu khawatir dengan ancaman anjloknya penerimaan pajak jika paket insentif fiskal jadi dikeluarkan. Sebab, jika dunia usaha bergairah, maka angka produksi akan meningkat sehingga pada akhirnya bisa meningkatkan penerimaan pajak juga. \"Yang penting, sinyal stimulus harus ada supaya dunia usaha tetap bergerak,\" ucapnya.
Anton menyebut, saat ini pemerintah tidak memiliki banyak opsi untuk menggairahkan ekonomi dalam jangka pendek. Sebab, strategi seperti menggenjot pembangunan infrastruktur melalui belanja negara maupun kerja sama pemerintah dengan swasta, baru akan terasa dampaknya pada jangka menengah dan panjang. \"Jadi, penurunan pajak akan langsung dirasakan manfaatnya,\" ujarnya. Saat ini, beberapa pajak yang mesti ditanggung dunia usaha di antaranya adalah pajak badan 25 persen dan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen.
Selain Anton, ada 10 ekonom lain yang ikut dalam pertemuan tertutup dengan presiden yang dikemas dalam acara makan siang kemarin, yakni Ketua Dewan Penyantun Center for Strategic and International Studies (CSIS) Djisman Simanjuntak?, Direktur Eksekutif Core Indonesia Hendri Saparini, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetyantono, ekonom Universitas Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko, ekonom ‘’ Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero, Yopie Hidayat?, Imam Sugema?, Arif Budimanta, Yanuar Rizky, dan Yose Rizal. Selain itu, ada tiga ekonom lain yang turut diundang namun berhalangan hadir, yakni ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti, ekonom BCA David Sumual, serta Berly Martawijaya.
Hendri Saparini menambahkan, upaya mengurangi beban dunia usaha memang sangat diperlukan. Selain terobosan fiskal melalui pengurangan pajak, pemerintah juga bisa menggunakan instrumen di bidang energi. Misalnya, karena saat ini harga energi primer seperti minyak, gas, dan batu bara tengah turun, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan tarif listrik ataupun gas bagi industri. \"Soal harga itu kan ada di tangan pemerintah,\" ujarnya.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Suryo Bambang Sulisto mengakui, saat ini pelaku usaha memang tengah menghadapi banyak tekanan, mulai dari naiknya harga bahan baku impor akibat depresiasi tajam rupiah, hingga penurunan omzet penjualan. \"Karena itu, ada insentif keringanan pajak, akan sangat membantu,\" katanya.
Pembicaraan terkait nilai tukar rupiah juga menyedot porsi besar dalam pertemuan dengan presiden. Hendri Saparimenyebut, pemerintah sebenarnya memiliki beberapa opsi untuk menambah pasokan dolar, misalnya melalui kerjasama billateral swap dengan beberapa negara, maupun kerjasama multilateral dengan negara Asean. \"Tapi, (menggunakan pinjaman dolar AS) itu belum perlu dilakukan,\" katanya.
Selain karena pemerintah sudah memiliki rencana pembiayaan APBN, cadangan devisa yang dimiliki Bank Indonesia (BI) yang sebesar USD 107 miliar juga dinilai masih cukup. Karena itu, untuk mengurangi tekanan terhadap rupiah, pemerintah diminta agar juga mengelola permintaan dolar AS. Misalnya mengurangi impor bahan baku dengan mengembangkan industri pemasok di dalam negeri. \"Jadi, tidak boleh hanya fokus pada sisi pasokan (dolar AS), tapi juga permintaannya,\" jelasnya.
Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Megawati Institute Arif Budimanta mengatakan, pemerintah pada dasarnya sudah mengetahui apa saja yang perlu dilakukan untuk kembali menggairahkan perekonomian. Hanya saja, presiden butuh lebih banyak pandangan agar semakin mantap. \"Itu semua akan terangkum dalam paket kebijakan yang dijanjikan segera dirilis,\" ucapnya.
Deputi III Bidang Pengelolaan Isu Strategis Kantor Staf Presiden (KSP) Purbaya Yudhi Sadewa yang ikut mendampingi Presiden Jokowi mengatakan, presiden memang sangat terbuka menerima masukan dari para ekonom. Meskipun, dia mengakui jika di antara para ekonom sendiri juga memiliki pandangan yang tak selalu sama dalam satu isu. \"Karena itu, semua pandangan ditampung untuk dicari yang terbaik,\" ujarnya.