JAKARTA - Teror bom yang terjadi di Mal Alam Sutera (MAS), Kota Tangerang, tergolong baru di Indonesia. Tersangka Leopard Wisnu Kumala, 29, melakukan askinya sendirian. Leopard meletakan empat bom dalam waktu berbeda di MAS. Dua diantaranya meledak.
Kapolda Metro Jaya Irjenpol Tito Karnavian mengatakan,kasus teror serupa di dunia barat dikenal dengan istilah lone wolf (serigala sendiri). Kejahatan itu menjadi isu penting. Sebab kasus teroris lone wolf cenderung sulit diungkap.
‘’Lebih mudah menangkap pelaku dari jaringan-jaringan teroris yang berlandaskan ideologi karena mereka sudah terpetakan,\" kata Tito saat jumpa pers di Mapolda Metro Jaya kemarin (29/10).
Menurut Tito, Leopard beraksi sendiri dan untuk kepentingan sendiri. Motif inya bukan diologi tetapi ekonomi. Maka itu, dia tidak masuk jaringan kelompok teroris tertentu. Pelaku secara otodidak mempelajari cara merakit bom dari internet. Meski demikian, pelaku tetap dikategorikan teroris karena meresahkan masyarakat.
‘’Makanya kami jerat dengan UU terorisme. Ancamannya bisa hukuman mati,’’ujar Tito.
Kemarin saat dihadirkan di depan wartawan tangan Leopard terborgol tanpa penutup muka. Tidak cukup, kakinya juga diikat rantai. Lulusan D3 Jurusan Management Informatika STTIKOM Insan Unggul, itu menguasai program dan internet. Dia bekerja di bank bagian IT, yang kantornya tidak jauh dari MAS. ”Dia juga pelaku teror bom Juli lalu di lokasi yang sama,” katanya.
Tersangka diketahui empat kali memasang bom di MAS. Dua lainnya tidak meledak. Teror pertama 6 Juli 2015 di foodhall MAS. Beruntung tidak meledak. Bom yang semuanya dimasukan di bungkus rokok tersebut diketahui petugas kemanana setempat yang saat itu diletakan di antara botol semproten serangga. Saat itu, tujuan pelaku supaya efek ledakan lebih dahsyat.
Teror kedua 9 Juli 2015 di toilet MAS. Bom itu meledak dan tidak ada korban. Dari peristiwa tersebut polisi melakukan penyelidikan dan hasil dari CCTV mengidentifikasi pelaku yang mirip Leopard. Hingga akhirnya teror ketiga terjadi pada pertengahan Oktober 2015, yang diletakan di toilet kantin karyawan MAS. Namun, tidak meledak.
Terakhir, Rabu (28/10) kembali meletakan bom di lokasi sama. Bom meledak dan melukai satu korban. Dari hasil identifikasi, saat terjadi ledakan terakhir, polisi langsung menyisir lokasi kejadian. Berbekal foto yang mirip dengan CCTV itu, Leonard dibekuk. Tersangka saat itu masih berada di sekitar MAS.
‘’Tidak sampai dua jam kami lakukan penangkapan. Dan langsung dikembangkan ke rumahnya di Banten. Di sana ditemukan satu bom lagi,’’ujar mantan Kepala Densus 88.
Terkait motif pemerasan, pelaku sudah melakukan sejak awal teror. Leo meminta Rp 300 juta dalam bentuk bitcoin. Awalnya, pihak MAS tidak memberikan permintaan itu. Anggota cyber crime yang mendapat laporan teror juga tidak melacak alamat email pelaku. Sampai akhirnya terjadi ledakan pertama 9 Juli. Pihak MAS sempat mengirim Rp 750 ribu.
‘’Itu (transfer) untuk memancing. Tetapi ternyata pelaku memang jago IT. Tim kami dibuat tak bisa melacak akun maupun email yang dia gunakan,’’ujar mantan Kapolda Papua itu.
Dari hasil penggeledahan di rumahnya Perum Griya Serdang Indah, Cilegon, Banten, polisi menyita berbagai bahan peledak. Salah satunya bom yang siap meledak. Bom yang dirakitnya semua dimasukan di kemasan rokok. Tito menerangkan nama bahan peledak yang dirakit pelaku adalah TATP atau triacetone triperoxide peroxyacetone. Masuk kategori ledak tinggi alias high explosive.
‘’Bahan peladak jenis yang mudah untuk dibuat tapi sangat sensitif dan tidak stabil,’’ ujarnya.
Saking bahaya, kata dia, jenis bom ini mendapat sebutan mother of satan atau induk iblis. Daya kemamungan bakarnya bisa mencapai 5.300 meter perdetik. Beda dengan jenis bom low explosive yang daya bakarnya di bawah 1.00 meter perdetik. Bahannya juga mudah didapat. Seperti komponen tinner cat. Bom jenis ini tanpa ketinator bisa meledak dengan getaran, panas, atau gesekan.