JAKARTA-Meski masih tetap mengalami tekanan yang cukup besar, perekonomian Indonesia tahun ini diprediksi lebih baik dibanding tahun 2015. Sektor konsumsi dan investasi tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh peningkatan belanja pemerintah, khususnya alokasi anggaran infrastruktur yang naik signifikan tahun ini.
“Ekonomi 2016 diprediksi akan lebih cerah, meski masih banyak risiko,” ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo kepada pers di Jakarta, kemarin (27/1). Pemerintah dan DPR sepakat menyusun asumsi makro dengan mematok pertumbuhan ekonomi di level 5,3 persen. Angka itu, di atas proyeksi ekonomi 2015 yang ditarget 4,7-4,8 persen.
Menurutnya, naiknya belanja infrastruktur akan meningkatkan pergerakan perekonomian sehingga mendorong naiknya daya beli masyarakat. “Belanja negara, akan dorong perekonomian nasional. Memang pengaruhnya bergeser ke sisi fiskal, karena dibutuhkan tambahan pinjaman agar cepat dicairkan 2016. Ini pun akan mendorong konsumsi masyarakat dan swasta,\" jelasnya.
Tekanan pertumbuhan ekonomi akan muncul dari sisi ekspor. Ekonomi Tiongkok yang melambat menjadi penyebab turunnya ekspor, mengingat Negeri Panda itu merupakan mitra dagang utama Indonesia. “Perlambatan ekonomi Tiongkok akan menekan ekspor Indonesia, khususnya yang berbasis komoditas,” katanya.
Dari sisi transaksi berjalan, diperkirakan tetap terjaga dengan baik. Defisit masih akan berkisar pada level tiga terhadap PDB. Inflasi terkendali, seiring dengan penurunan harga minyak dan tercukupinya kebutuhan pangan di dalam negeri.
Pada bagian lain, Gubernur BI mengingatkan perusahaan nasional dengan jumlah utang luar negeri besar agar berhati-hati terhadap perekonomian yang masih terus berfluktuasi. “Utang luar negeri korporasi masih mengkhawatirkan dan rentan terhadap risiko global,” ungkap Agus.
Bila berkaca pada krisis 1997-1998, peningkatan utang luar negeri perusahaan menjadi salah satu risiko yang mengancam kondisi stabilitas keuangan dan perekonomian secara keseluruhan. Nilai tukar rupiah yang melemah tentu akan menambah berat pembayaran utang luar negeri dalam dolar.
Agus menjelaskan, isu global yang masih menjadi perhatian investor adalah terkait rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), yaitu Federal Reserve (The Fed), serta sentimen negatif akibat pelemahan ekonomi China.
“Isu naiknya Fed Fund Rate atau nada negatif Tiongkok memicu outflow dana, dan membebani mata uang termasuk rupiah,” ujarnya. Namun, Agus memastikan BI akan selalu berada di pasar untuk menjaga kestabilan nilai tukar.
(mna/rif)