PONOROGO - Nama Sabarudin kembali masuk dalam daftar calon jemaah haji. Sebelumnya, tahun 2003 silam dia sudah menunaikan rukun islam yang kelima tersebut. Kali ini dia tidak sendiri, dia mengajak istrinya.
Latiful Habibi, Radar Madura
Senyum menghiasi wajah Haji Sabarudin. Jemari tangannya terlihat aktif memijat tubuh pasiennya. Obrolan ringan sesekali antara tukang pijat dengan pasiennya terdengar di dalam ruangan. Setelah selesai menunaikan tugasnya, dia menyapa wartawan koran ini yang sudah menunggu beberapa saat. \"Maaf menunggu, tadi masih ada pasien,’’ kata laki-laki berusia 61 tahun ini.
Selang beberapa saat, Sabarudin menuturkan kisah hidupnya. Cerita seorang tukang pijat yang mampu menunaikan ibadah haji. Seluruh biaya ibadah itu seratus persen dari keringatnya memijat pasien. \"Saya dari dulu selalu berusaha hati-hati menggunakan uang dari pekerjaan saya ini,’’ ungkapnya.
Warga Kertosari, Babadan, Ponorogo Jawa Timur ini mengaku tidak tega memanfaatkan uang hasil kerjanya memijat orang untuk berfoya-foya. Apalagi untuk memenuhi keinginan duniawi. Sebab, semua orang yang memberi uang kepadanya selesai pijat itu adalah keluarga yang tertimpa musibah. Dia tidak ingin zalim kepada orang lain. \"Mereka sudah susah, tapi masih mengeluarkan biaya,’’ terang bapak tiga anak ini.
Lantaran itulah, dirinya bertekad menyisihkan sebagian rejekinya itu untuk ditabung. Tahun ini merupakan kali kedua dia ke tanah suci.\"Pertama tahun 2003, uangnya juga dari hasil memijat,’’ kata suami Umpikah ini.
Dirinya berkisah tentang kenangan tahun 2003 lalu. Saat pertama naik hajidirasanya tidak mudah. Banyak sekali godaannya. Anak-anaknya juga masih sekolah dan kuliah. Dia sempat tergiur membeli rumah dan tanah ketika ditawari tetangganya. Meski butuh, dia batalkan dan lebih memilih berangkat haji. \"Setelah pulang dari tanah suci, ada yang menawarkan lagi dengan harga yang lebih murah,’’ kenangnya.
Dari pengalaman itu, dia sadar harta tidak akan habis untuk beribadah. Bahkan, dia sudah memberangkatkan haji anaknya. Sebenarnya, tahun 2010 lalu dia ingin memberangkatkan istrinya. Tapi, sang istri memilih menunda hingga bisa berangkat bersama-sama. Pasangan suami istri ini dijadwalkan akan berangkat ke tanah suci 2 Agustus 2017 nanti.
Terhitung sudah sekitar 21 tahun dirinya berprofesi sebagai tukang pijat. Warga Kertosari, Babadan, ini pun tak ingat sudah berapa pasien yang sudah dipijatnya sejak tahun 1996 lalu.
Keingingan untuk menyembuhkan adiknya yang menderita lumpuh selama dua tahun lebih jadi tujuan awal dirinya menjadi tukang pijat. Waktu itu, upaya pengobatan tak kunjung membuahkan hasil. Akhirnya dia mencari referensi dari buku medis dan khasiat tanaman.
Dia juga belajar teknik pemijatan. Lalu, dia praktikkan kepada adiknya yang sakit. \"Ternyata ada perubahan, adik saya mulai membaik,’’ kenangnya.
Sejak saat itu, dirinya terus mencari tambahan referensi. Sedikitnya 17 judul buku medis yang sudah dibacanya. Pekerjaan sebagai pedagang di tinggalkan ketika semakin banyak pasien yang butuh bantuannya. Selama jadi tukang pijat, dia juga tidak pernah pasang tarif. \"Kalau soal itu, terserah pasiennya,’’ ungkapnya. (sat)