JAKARTA – Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode 2014-2017 resmi menyerahkan estafet kepemimpinan pada KPAI pada komisoner baru yang akan menjabat hingga tahun 2022 nanti. Sertijab digelar di Hotel Arya Duta, Jakarta kemarin (31/7)
Komisioner baru berjumlah 9 orang. Beberapa diantaranya adalah komisiner lama yang kembali menjabat. Mereka berasal dari beberapa elemen mulai dari pemerintahan, ormas, pengusaha, tokoh masyarakat, hingga Masyarakat Peduli Anak. Mereka diangkat lewat SK presuden nomor 77/p tahun 2017.
Ketua Komisoner KPAI Demisioner, Asrorun Niam mengungkapkan bahwa sejatinya masa tugas para komisioner lama berakhir resmi pada 15 Juni lalu, namun dibutuhkan beberapa saat bagi KAPi untuk melakukan transisi. “Mulai detik ini, semua tanggung jawab dan pengaduan beralih pada komisoner baru,” katanya.
Selama 4 tahun masa kerja, Niam menyebut bahwa kasus-kasus perlindungan anak bisa dikatakan menurun secara kualitas. Meskipun ia mengakui secara kuantitas, pengaduan yang masuk ke KPAI masih terhitung cukup banyak.” Katanya.
Pemerintah, kata Niam selama ini cukup responsif dengan rekomendasi yang dikeluarkan KPAI. Dukungan-dukungan peraturan juga dibuat oleh pemerintahan presiden Jokowi. Ia menyebut seperi Inpres anti kejahatan seksual terhdap anak, revisi UU 23 tahun 2002 menjadi UU 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, serta Perppu nomor 1 tahun 2016 tentang perlindungan anak.
Ketua Komisioner KPAI terpilih, Jasra Putra mengungkapkan bahwa sistem pengaduan akan berjalan sebagaimana biasanya tanpa terganggu dengan proses pergantian komisioner. Ia menyatakan pihaknya akan lebih berfokus pada penyelesaian beberapa kasus penting seperti kasus bullying yang terjadi di Mall Thamrin City beberapa waktu lalu. Melibatkan 9 Siswi SMP.
“Kami berharap yang 9 siswi segera bisa sekolah lagi, jangan sampai hak-hak mereka juga terabaikan,” kata Jasra.
Selain itu, Jasra akan mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) di tiap-tiap provinsi di indonesia. Perwujudannya memang harus melibatkan koordinasi antar kementerian dan lembaga (KL). “Sejauh ini baru Kemensos yang siap, itupun belum 100 persen,” katanya.
Jasra menambahkan, saat ini yang diperlukan adalah pendekatan menyeluruh dalam penyelesaian problem anak. Mulai dari hulu hingga hilir. Satu-satunya solusi adalah mewujudkan sekolah ramah anak. Tentunya tidak mudah karena para guru harus mampu menjadi teman yang baik bagi anak, tidak hanya di dunia fisik, namun juga di dunia maya.
Selain itu, problem hulu seperti kondisi keluarga harus juga mulai diperhatikan oleh pemerintah. Banyak kasus anak lahir dari kondisi keluarga terutama masalah ekonomi. “Kalau semuanya sudah satu mindset, pemerintah, kepolisian, dan lembaga, penyelesaian akan lebih optimal,” ungkapnya.
(tau)