JAKARTA - Sesuai prediksi, setelah momen Ramadhan dan Lebaran, besaran inflasi pada bulan Juli kembali rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, tingkat inflasi bulan Juli mencapai 0,22 persen. Angka inflasi tersebut jauh lebih rendah dari inflasi bulan sebelumnya yang sebesar 0,69 persen.
Banyak pihak menilai tren inflasi rendah yang terus berlanjut tersebut disebabkan salah satunya karena daya beli masyarakat yang terus menurun. Hal tersebut dibenarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Politikus senior partai Golkar itu menuturkan nilai inflasi yang cenderung rendah salah satunya disebabkan oleh daya beli yang sedang turun. Dia menyebut kondisi itu memang sudah diketahui sebelumnya seperti ditulis di banyak media. ”Memang (daya beli, red) turun, memang dalam kondisi begini,” ujar JK di Kantor Wakil Presiden kemarin (1/8).
Dia menuturkan bisa jadi inflasi 0,22 persen pada Juli ini karena produksi beberapa komoditas pertanian juga sedang tinggi. Misalnya beras dan jagung. ”Beras atau jagung naik tidak stabil,” tambah dia.
Namun, dia berharap masyarakat tidak perlu terlalu heran dengan inflasi yang rendah. Sebab, dengan inflasi yang kadang lebih tinggi dari negara lain juga sudah terbiasa. “Inflasi 0,22 itu biasa saja,” tegas dia.
Kepala BPS Suhariyanto menguraikan sebaliknya. Dia menilai tingkar inflasi yang rendah pada bulan Juli ini, menunjukkan bahwa pemerintah berhasil mengendalikan inflasi.
Dampaknya, daya beli masyarakat menjadi lebih baik. Dia juga mengungkapkan bahwa besaran inflasi inti atau core inflation pada bulan Juni dan Juli yang sebesar 0,26 persen, lebih tinggi dibanding bulan Maret, April dan Mei. Namun, diakuinya, perbaikan daya beli pada momen Ramadhan dan Lebaran tidak sebaik yang diharapkan.
\"Ini bagus membuat daya beli terjaga. Hal itu (daya beli) nanti akan tercermin di konsumsi rumah tangga pada rilis PDB pekan depan. Kalau inflasi terkendali, daya beli masyarakat terjaga. Tapi kemungkinan besar konsumsi RT di PDB masih akan menguat adanya lebaran dan ramadhan, walaupun tidak akan setinggi yang diekspektasikan sebelumnya,\"jelasnya di Gedung BPS, kemarin.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti juga menyatakan bahwa pelemahan daya beli memang turun tajam di sektor ritel. Namun, hal tersebut bukan berarti mengindikasikan lemahnya daya beli masyarakat. Melainkan terjadi proses shifting dari masyarakat yang semula gemar belanja di pusat perbelanjaan, menjadi bergeser belanja online (e-commerce).
\"Mungkin orang melihat kok pasar sepi ya. Seperti di Jakarta, penjualan di mal memang agak turun karena ada online. Jadi orang membeli online. Ada shifting orang belanja. Bisa jadi sekarang kan pembangunan infrastruktur, jadi macet di mana-mana. Orang akhirnya cenderung males ke luar jadi pada beli online. Jadi bukan daya beli (melemah) tapi daya beli masih normal,\"urainya di Gedung BPS, kemarin.
Chief Economist Skha Institute Eric Alexander Sugandi menuturkan, tidak dipungkiri jika indikasi pelemahan daya beli masyarakat cukup kuat. Hal tersebut tercermin dari angka Indeks Kepercayaan Konsumen yang terus menurun. Dia menguraikan, setidaknya
ada beberapa faktor yang membuat daya beli masyarakat melemah. Diantaranya kenaikan beberapa item administered prices seperti Tarif Dasar Listrik (TDL).
\"Kemudian ada tekanan harga komoditas energi, pertanian dan perkebunan. Hal ini pengaruhi kelompok masyarakat yg incomenya bergantung pada komoditas, kebanyakan di luar jawa. Lalu tertekannya pertumbuhan ekonomi dan lambatnya pertumbuhan investasi. Pelemahan daya beli ini sudah berlangsung sejak 2-3 tahun terakhir., ketika ekonomi Indonesia tumbuh melambat, \"paparnya.
Sementara itu, berdasarkan rilis inflasi BPS, unflasi tahun kalender sebesar 2,60 persen, dan inflasi tahun ke tahun mencapai 3,88 persen. Dari 82 kota IHK, 59 kota tercatat mengalami inflasi, sementara 23 kota deflasi. Adapun inflasi tertinggi di Bau-bau sebesar 2,44 persen dan terendah di Meulaboh sebesar 0,01 persen. Sementara, deflasi tertinggi di Merauke 1,50 persen dan deflasi terendah di Metro dan Probolinggo masing-masing 0,07 persen.
(ken/jun)