Faktor eksternal masih menjadi momok perekonomian dalam negeri. Salah satunya kebijakan anyar Presiden AS Donald Trump soal pajak yang bisa berdampak pada stabilitas makroekonomi. Berikut wawancara dengan Gubernur BI Agus Martowardojo.
Pada 22 Desember lalu, Trump memangkas pajak individu dan korporasi. Apa dampaknya terhadap Indonesia?
Reformasi pajak di AS ini kami lihat sebagai suatu terobosan, yang tadinya pajaknya 35 persen sekarang jadi 21 persen. Tadinya itu akan berlaku 2019, ternyata bisa lebih cepat dan akan diberlakukan pada 2018. Jadi ini merupakan perkembangan yang mesti disikapi oleh negara berkembang di dunia.
Penurunan tarif pajak di AS ini kemungkinan membuat banyak investor dari AS yang selama ini menanamkan dana di luar negeri akan menarik dananya ke dalam negeri. Jadi tentu negara-negara termasuk Indonesia perlu antisipasi. Seandainya terjadi capital reversal (arus balik modal dari Indonesia ke AS) maka perlu dikelola dengan hati-hati.
Apa yang harus dilakukan agar perekonomian tetap stabil ketika terjadi capital reversal?
Kalau BI, yang perlu dilakukan adalah kami jaga fundamental ekonomi kita. Dan, fundamental ekonomi kita sekarang ini terjaga dengan baik. Kita mesti kelola dengan hati-hati dan terus melakukan reformasi struktural kita, sehingga confidence (pemilik) dana dari AS yang ada di Indonesia itu tetap ada di Indonesia.
Salah satu risiko jika terjadi capital reversal adalah bergejolaknya Rupiah. Bagaimana antisipasi BI?
Kami tentu akan jaga (rupiah). BI akan ada selalu hadir di pasar (uang) untuk menjaga agar stabilitas nilai tukar itu terus terjaga. BI melihat bahwa untuk volatilitas nikai tukar di 2017 kan ada di kisaran 3 persen, tahun 2016 ada di kisaran 8 persen. Ini menunjukkan bahwa stabilitas itu sudah lebih baik pada 2017. Kami harapkan pada 2018 ini akan terus kita jaga.
Isu soal rendahnya inflasi dan penurunan daya beli banyak disoroti pada 2017. Bagaimana menurut Bapak?
Konsumsi memang belum terjadi perbaikan seperti yang kita harapkan. (kelompok) menengah ke atas itu banyak yang melakukan perubahan pola konsumsi, dari non leisure ke leisure. Mereka juga banyak menunda konsumsi. Kalo (kelompok) menengah ke bawah, dengan adanya bantuan sosial (bansos) yang diberikan oleh pemerintah, dengan adanya jasa-jasa transfer dari program TKI yang ada di luar negeri, ini akan bisa lebih naik. Tapi memang kontribusi konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi masih besar meski belum seperti yang kita harapkan.