Shok Therapy untuk Profesor, Potong Tunjangan Jika Tak Menulis Jurnal

Senin 26-02-2018,00:00 WIB

“Profesor bukan malas, namun wadah dah waktu yang kurang,” katanya.

Menurutnya, saat ini memang banyak profesor tidak menulis karya ilmiah. Kejadian ini, sambung Damris karena pendapatan yang diterima profesor sangat kecil.

Lanjutnya, kini banyak profesor mengambil job di luar dunia pendidikan, seperti menjadi tenaga ahli, dan konsultan perusahaan.

“Masih banyak yang mengejar pendapatan, makanya tidak menulis dan kurang focus dengan dunia pendidikan,” ungkapnya.

Untuk itu, ungkap Damris, jika pemerintah menuntut guru besar untuk menulis. Pemerintah juga memenuhi apa yang menjadi kebutuhan. Seperti pendapatan dan ruang untuk menyampaikan tulisan.

Kemudian, mahalnya biaya penelitian  juga menjadi kendala. Oleh karena itu, Damris meminta pemerintah juga mepertimbangkan permasalahan ini dan memberikan bantuan keuangan.

“Jika itu dilakukan maka professor akan focus pada dunia pendidikan” ungkapnya.

Terkait dengan waktu perpanjangan hingga tahun 2019, Damris memberikan apresiasi terhadap pemerintah. Dengan waktu yang diberikan. Ia mengatakan sangat cukup untuk melakukan penelitian.

“Saya sepakat saja, asalkan waktu, dan ruang disediakan oleh pemerintah,” pungkasnya.

Sebelumnya, sebanyak 3.800 lebih guru besar yang tunjangan kehormatannya terancam dihentikan bisa sedikit lega. Ini setelah Kemenristekdikti akhirnya memperpanjang batas akhir penulisan publikasi internasional hingga November 2019. Keputusan Kemenristekdikti itu memang terkesan tidak konsisten.

Sebab, dalam regulasi Permenristekdikti 20/2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor ketentuannya mengikat. Yakni jika ada guru besar atau profesor yang tidak menulis publikasi ilmiah internasional, tunjangan kehormatannya akan dihentikan sementara. Tunjangan kehormatan guru besar ditetapkan dua kali gaji pokok.

Dirjen Sumber Daya Iptek-Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, regulasi itu bakal direvisi. Proses revisi sudah mencapai 95 persen. Di antara klausul revisinya adalah memberikan perpanjangan waktu bagi profesor yang belum membuat publikasi sampai November 2019.

Dia tidak menjelaskan dengan detail alasan perpanjangan waktu tersebut. ’’Biar tidak ada gonjang-ganjing,’’ katanya di kantornya beberapa hari lalu (22/2).

Guru besar UGM Jogjakarta itu menegaskan, jika sampai November tahun depan masih ada profesor yang tidak membuat publikasi, tunjangan kehormatannya akan dihentikan sementara.

Ghufron menegaskan, kewajiban membuat karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi itu sejatinya tidak berat. Sebab, seorang guru besar tidak harus menjadi penulis utama. Mereka bisa juga berstatus sebagai pembimbing atau menjadi penulis bersama guru besar lainnya.

Dia berharap perpanjangan waktu sekitar 1,5 tahun ini dimanfaatkan sebaik-baiknya. Apakah waktunya cukup untuk membuat publikasi? Ghufron mengatakan perpanjangan waktu dia rasa sudah cukup. ’’Kan (misalnya) ada yang sudah 90 persen jalan,’’ tuturnya. Bagi Ghufron, seorang guru besar bukan dosen sembarangan. Di kepalanya pasti sudah banyak ide atau gagasan penelitian.

Tags :
Kategori :

Terkait