JAKARTA – Tahun 2018 diawali dengan rentetan bencana mematikan. Baru dua bulan berlalu (Januari-Februari), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat Indonesia telah dihajar 513 bencana yang merenggut 72 nyawa. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya menimbulkan 40 korban jiwa.
Dari 513 kejadian bencana tersebut, 182 kejadian adalah puting beliung, sementara banjir sudah terjadi 157 kali, longsor 137 kali, kebakaran hutan dan lahan 15 kali, kombinasi banjir dan tanah longsor 10 kali, gelombang pasang dan abrasi 7 kali, gempabumi merusak 3 kali, dan erupsi gunung api 2 kali.
Korban jiwa tercatat 72 meninggal dunia dan hilang, 116 jiwa luka-luka, dan lebih dari 393 ribu mengungsi dan menderita. Bencana juga merusak 12.104 rumah. Meliputi 1.566 rumah rusak berat, lalu 3.141 rumah lainnya rusak sedang serta 7.397 rumah rusak ringan.
Selain itu, bencana juga merusak 127 unit fasilitas pendidikan, 123 fasilitas peribadatan dan 13 fasilitas kesehatan. ”Diperkirakan kerugian dan kerusakan akibat bencana mencapai puluhan trilyun rupiah,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kapusdatin dan Humas BNBP kemarin (2/3).
Dari korban 72 jiwa meninggal dan hilang, bencana longsor masih yang paling mematikan. Tercatat 45 jiwa meninggal dunia dan hilang akibat longsor. Sedangkan banjir mencatatkan skor 18 jiwa, puting beliung 6 jiwa, banjir dan longsor 2 jiwa, dan gempabumi 1 jiwa.
Longsor menjadi bencana yang paling mematikan sejak tahun 2014 hingga sekarang. Saat ini, kata Sutopo sekitar 40,9 juta jiwa masyarakat Indonesia tinggal di daerah rawan longsor dengan potensi sedang hingga tinggi.
Mereka tinggal di pegunungan, perbukitan dan lereng-lereng yang curam dengan kemampuan mitigasinya masih minim. Saat musim hujan seperti saat ini longsor marak terjadi. ”longsornya kecil, namun karena di bawah terdapat rumah maka terjadi korban jiwa,” kata Sutopo.
Longsor mematikan karena sifatnya yang penuh ketidakpastian. Sulit dideteksi dan diprediksi secara pasti kapan akan terjadi longsor. Adakalanya, meski tanah sudah bergerak, merekah hingga lebar mencapai 50 centimeter dengan panjang ratusan meter, tapi tidak segera terjadi longsor.
”Masyarakat awalnya sudah mengungsi, Namun karena longsor tidak segera terjadi, bahkan hingga berbulan-bulan akhirnya masyarakat kembali ke rumah untuk bekerja dan melakukan aktivitas sehari-hari,” kata Sutopo.
Selain longsor, indonesia juga menghadapi masalah daerah rawan banjir yang makin tahun makin meluas. Daerah yang semula tidak pernah terjadi banjir tiba-tiba terjadi banjir besar. Pengaruh antropogenik atau ulah manusia lebih dominan daripada faktor alam sebagai penyebab banjir.
Sutopo menjelaskan, tingginya laju kerusakan hutan, lahan kritis, kerusakan lingkungan, degradasi sungai, lemahnya implementasi tata ruang, masih rendahnya budaya sadar bencana dan lainnya telah menyebabkan kerentanan meningkat.
Sementara itu Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kemarin (2/3) menjelaskan kembali tentang Sunda Megathrust. Informasi Sunda Megathrust yang berpotensi menghadirkan gempa dengan kekuatan tinggi di sekitar DKI Jakarta, mencuat dalam diskusi Ikatan Alumni Akademik Meteorologi dan Geofisika (Ikamega) Rabu lalu (28/2).
Kabag Humas BMKG Hary Tirto Djatmiko mengatakan setelah digelar diskusi tersebut beredar tulisan yang isinya kurang tepat. Sehingga menimbulkan makna yang berbeda. ’’Untuk itu kita ingin meluruskan informasi soal Sunda Megathrust yang sudah beredar di masyarakat,’’ katanya.
Hary mengatakan meskipun para ahli mampu menghitung perkiraan magnitude maksimum gempa di zona megathrust, namun teknologi yang ada saat ini belum mampu memprediksi dengan tepat. Termasuk apakah benar nantinya gempa akibat Sunda Megathrust bakal mencapai 8,7 SR. Termasuk juga memastikan kapan gempa Sunda Megathrust itu akan terjadi.
’’Kita pun belum mampu memastikan apakah gempa Sunda Megathrust 8,7 SR akan benar-benar terjadi. Kapan, dimana, dan berapa kekuatannya,’’ jelasnya. Maka dalam ketidakpastian tersebut yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi bencana dengan tepat.