JAKARTA - Penolakan terhadap UU MD3 terus menggema. Bukan hanya aksi demonstrasi damai tapi juga melalui petisi online di Change.org. Hingga berita ini ditulis petang kemarin (15/3) sudah ada 205.582 orang yang telah menandatangani petisi itu dan terus bertambah tiap menitnya.
Campaign Manager Change.org Dhenok Pratiwi menuturkan petisi tersebut dibuat sehari setelah penetapan UU MD3 di DPR pada 12 Februari. Penetapan tersebut mengagetkan masyarakat lantaran isinya dinilai kontroversial.
”Dan dalam sehari itu tembus 100 ribu. Dan sekarang sudah 205 ribu.
Dari Change sendiri ini adalah petisi nasional terbesar dan paling cepat didukung oleh masyarakat,” ungkap Dhenok di Jakarta, kemarin (15/3).
Petisi yang bisa ditemukan di change.org/tolakuumd3 itu setidaknya menyoroti tiga hal yang jadi isi undang-undang tersebut. Yakni, setiap orang yang dianggap ‘merendahkan DPR’ dapat dipenjara; bila dipanggil DPR tidak datang bisa dipanggil paksa oleh polisi; dan pemeriksaan anggota dewan dalam suatu kasus harus dapat pertimbangan Majelis Kehormatan Dewan.
”Meski DPR tahu bahwa masyarakat akan banyak menentang, tapi mereka tetap mengesahkan UU MD3. Mungkin karena itu disahkan secepat kilat,” tulis keterangan petisi itu.
Dicantumkan pula delapan partai politik yang mendukung UU MD3 tersebut. yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Petisi itu didukung oleh masyarakat sipil untuk MD3. Tercantum beberapa lembaga seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kode Inisiatif, YAPPIKA, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan FITRA.
Dhenok menuturkan setelah undang-undang tersebut berlaku pada 14 Maret itu jumlah orang yang menandatangani petisi itu terus naik. Sebelumnya bertahan diangka 200 ribu. Tapi, dalam tiga hari terakhir bertambah 5 ribu tanda tangan. ”Akhir-akhir ini naik lagi,” ungkap dia.
Manajer Advokasi, Riset dan Kampanye YAPPIKA-Action Aid Hendrik Rosdinar menuturkan sikap Presiden Jokowi yang mempersilahkan publik untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai lempar tanggung jawab. Dia pun dianggap tidak bisa mengendalikan menterinya dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
”Seandainya presiden bisa mengendalikan menterinya, maka presiden bisa menarik dalam proses pembahasan, tidak ada revisi (UU MD3),” ujar dia usai diskusi di Tebet, kemarin (15/3).
Dia menuturkan sebagai kepala negara, Jokowi semestinya bisa mengambil dua langkah konstitusional untuk mengakomodasi keresahan yang ada di masyarakat. yakni menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau mengajukan revisi terbatas kepada DPR.
”Ketika presiden melempar wacana silahkan masyarkat yang tidak setuju untuk melakukan uji materi ke MK itu dia, satu melempar tanggung jawab. yang kedua dia ingin menjebak masyarakat untuk JR ke MK,” ungkap dia.
Dia menilai saat ini MK sedang berada dalam sorotan. Lantaran tindakan dua pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua MK Arief Hidayat.
”Salah satu dugaan pelanggaran etik sang ketua adalah dia melakukan komunikasi politik ke DPR. Yang kita patut curiga dong bahwa MK tidak independen dalam hal ini,” kata Hendrik.