JAKARTA – Penerapan Undang-Undang (UU) Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap Setya Novanto (Setnov) tengah dimatangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga superbodi itu tinggal menunggu putusan Pengadilan Tipikor Jakarta atas perkara pokok rasuah kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Penggunaan pasal tindak pidana money laundering tersebut bisa menjadi salah satu cara KPK untuk membongkar indikasi bahwa Setnov telah berupaya menyamarkan dan menyembunyikan asal usul penerimaan fee proyek e-KTP sebesar USD 7,3 juta. Sejauh ini, penerimaan tersebut masih disangkal oleh mantan Ketua DPR itu.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pengembangan perkara Setnov kearah TPPU tengah dipelajari oleh tim penyidik yang bekerjasama dengan tim penuntutan. Febri menyebut, langkah itu memang bisa saja dilakukan sepanjang alat buktinya terpenuhi. Salah satu alat bukti yang dimaksud adalah fakta-fakta persidangan Setnov.
”Pengembangan bisa dilakukan terhadap perbuatan lain yang diduga dilakukan terdakwa SN (Setya Novanto),” ujarnya, kemarin (30/3). Di persidangan, keterangan tentang indikasi TPPU yang dilakukan Setnov sudah beberapa kali mencuat. Bahkan, tim jaksa penuntut umum (JPU) dalam amar tuntutan juga menyelipkan fakta itu sebagai pertimbangan.
Analisis terkait dugaan TPPU itu juga sempat diungkap mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein di persidangan Setnov 12 Maret lalu. Kala itu, Yunus diundang sebagai ahli perbankan dan transaksi keuangan oleh jaksa KPK.
Yunus menyebut transaksi duit ke Made Oka Masagung dan Irvanto Hendra Pambudi Cahyo sangat mencurigakan dan diduga untuk menyamarkan asal-usul pemberi. Pasalnya, transaksi itu melibatkan empat pihak. Hal itu tidak lazim dalam sebuah transaksi. Transaksi itu juga diduga melewati enam negara. Yakni, Indonesia, Amerika Serikat, India, Mauritius, Hongkong dan Singapura.
Febri menjelaskan, pihaknya tetap berpedoman pada dua alat bukti untuk memulai penyidikan TPPU Setnov. Nah, dalam proses pengumpulan bukti-bukti tersebut, KPK perlu mempelajari fakta-fakta persidangan secara cermat. ”Pada prinsipnya, semua yang muncul di fakta persidangan itu akan kami pelajari dan yang relevan akan kami dalami,” ujarnya.
Terkait dengan tuntutan Setnov Kamis (29/3) lalu, KPK mengakui pihaknya masih memberi ruang kepada Setnov untuk menyampaikan keterangan tentang keterlibatan pelaku-pelaku lain dalam skandal korupsi e-KTP. Itu mengingat, masih ada dua penyidikan e-KTP yang tengah bergulir saat ini. Yakni, penyidikan Made Oka dan Irvanto.
”Jadi jika memang punya niat baik untuk membuka seterang-terangnya perkara ini, atau pelaku-pelaku lain, tentu dengan informasi yang benar dan valid,” imbuh Febri. Sejauh ini, informasi yang disampaikan Setnov kepada KPK justru bertentangan dengan alat bukti lain. Hal itu pun menjadi pertimbangan memberatkan dalam tuntutan terhadap suami Deisti Astriani Tagor tersebut.
Febri menambahkan, yang paling memungkinkan dilakukan Setnov untuk memudahkan penanganan perkara e-KTP saat ini adalah sikap kooperatif memberikan keterangan kepada KPK tentang peran pelaku lain. Sejauh ini, sikap itu belum terlihat. Sebaliknya, Setnov justru terus berkilah tidak menerima uang haram e-KTP secara langsung.
”Kalau memang serius, ya silahkan. Tapi tentu harus dilakukan tidak dengan setengah hati,” tutur mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut. Bila nanti Setnov mau secara luas membuka peran pelaku lain dan mengakui seluruh perbuatannya, KPK pun masih memberikan ruang bagi Setnov mendapatkan status JC.
Terpisah, penasehat hukum (PH) Setnov, Maqdir Ismail tidak bisa berandai-andai tentang langkah KPK mempelajari penerapan TPPU kepada kliennya. Dia pun menyerahkan semua proses hukum tersebut ke komisi antirasuah. Sebagai tim PH, pihaknya hanya memberikan bantuan-bantuan hukum kepada terdakwa. ”Kami serahkan saja sama KPK dan kita tunggu saja,” katanya kepada Jawa Pos.
Saat ini, sembari menunggu agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi) pada 13 April mendatang, tim PH terus mendorong Setnov agar memberi keterangan yang diperlukan KPK sebagai justice collaborator (JC). Nah, pilihan JC dan mengungkapkan siapa saja pelaku lain dalam korupsi e-KTP itu kini ada di tangan Setnov.
(tyo)