JAKARTA – Pergerakan pasar obligasi kembali berada di zona hijau seiring dengan laju rupiah yang terapresiasi. Kemarin (10/7) rupiah di pasar spot menyentuh level tertinggi di angka Rp 14.290 per dolar AS (USD) dan terlemah Rp 14.376 per USD. Sedangkan di kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah bertengger di harga Rp 14.326 per USD.
Rata-rata harga obligasi pemerintah naik 0,74 basis poin di level 111,93. Sementara itu, rata-rata harga obligasi korporasi naik 0,28 basis poin di level 106,06. Laju imbal hasil, baik corporate maupun government bond, tampak turun akibat penguatan rupiah dalam dua hari terakhir.
Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengungkapkan, pergerakan pasar obligasi dalam negeri terdorong oleh terapresiasinya rupiah. Selain itu, pelaku pasar obligasi global mencoba untuk mengesampingkan efek dari terjadinya perang dagang antara AS dan Tiongkok. ”Meski demikian, tetap cermati dan waspadai jika masih ada berbagai sentimen yang dapat membuat laju pasar obligasi kembali melemah,” katanya.
Sebagai respons terhadap AS, Tiongkok telah mengumumkan kenaikan tarif antidumping serat optik AS sebesar 78 persen. Tarif tersebut sebelumnya hanya 4,7–18,6 persen. Kini, naik menjadi 33,3–78,2 persen. Aksi itu dinilai sebagai balasan Tiongkok atas proteksionisme AS terhadap barang-barang dari Tiongkok. Aturan baru dari Tiongkok tersebut akan berlaku hari ini (11/7).
Secara keseluruhan, yield surat utang telah naik akibat naiknya suku bunga BI 7 days reverse repo rate (BI-7DRRR). Penaikan suku bunga dilakukan sebagai upaya stabilisasi atas melemahnya rupiah terhadap USD. Suku bunga acuan sejauh ini telah naik 1 persen. ’’Pelemahan rupiah so far lebih menekan beberapa indikator pasar keuangan, baik dari pasar saham, bond, maupun valas (valuta asing). Hal itu terlihat dari indeks saham turun, yield SUN naik, dan rupiah melemah,” ujar Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo.
Menurut Dody, yield surat utang yang naik akan menarik kembali dana asing untuk masuk. Sebab, sebelumnya banyak dana asing yang keluar dari pasar keuangan. Namun, lanjut Dody, fundamental ekonomi masih kuat. Pergerakan bond yield di pasar sekunder masih dipengaruhi sentimen global, bukan dari sentimen negatif domestik.
Di pasar primer, pemerintah telah menyerap dana Rp 293,77 triliun dari lelang SUN semester I 2018. Jumlah tersebut meleset dari target indikatif yang awalnya sebesar Rp 345,77 triliun. Kemarin pemerintah juga melakukan lelang sukuk dengan target indikatif Rp 4 triliun. Turun dari target awal yang sebesar Rp 8 triliun.
(rin/c7/fal)