Lebih lanjut Ia menyebutkan, menjadi wakil rakyat harus bisa menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Sewaktu terpilih kita harus tahu tupoksi kerja. “Intinya kita harus cakap dalam bicara, bergaul, komunikasi. Kreteria itu harus dipenuhi,” katanya.
Tidak jauh berbeda dengan bakal Caleg yang akan maju untuk DPRD Provinsi Jambi juga menyebutkan adanya biaya politik yang harus dikeluarkannya. Hanya saja jumlah yang dikelaurkan tidak bisa di patok dan angkanya juga berbeda setiap masing-masing calon. “Tidak bisa dipatok, tapi ada biaya yang harus dikeluarkan. Jumlah berbeda-berbeda,” kata sumber koran ini yang juga enggan dicantumkan namanya.
Sebagai Caleg yang juga pernah maju pada Pemilu 2014 lalu, ia menyebutkan jika biaya yang dikeluarkan berkisar dari Rp. 200 hingga Rp. 300 juta. Jumlah itu sudah termasuk saksi, biaya sosialisasi dan kampenye ketika turun ke Dapil.
“Kalau saksi kita patungan. Memang ada untuk pertemuan dan biaya atribut. Angka ini masih minim karena dirinya memilih turun langsung ke lapangan bertemu dengan masyarakat. Jadi tidak ada untuk membeli suara,” jelasnya.
Jumlah yang dikeluarkan dirinya itu masih cukup minim karena ditopang dengan jaringan yang sudah dibentuk selama ini. ada beberapa jaringannya yang siap berkeja membantu untuk berjaung meyakinkan masyarakat. “Ada kawan-kawan yang masih ingin membantu dilapangan, lebih kurang 70 persen mesin kita dari sana,” ungkapnya.
Tapi bereda dengan teman sejawatnya yang diakui bisa menyiapkan Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar. Ia beralasan tidak ingin menjadi beban dan masalah ketika terpilih untuk mengemban amanah rakyat.
“Tidak perlu kita sebutkan nama. Ada teman yang maju sudah menyiapkan 2 hingga 3 miliar. Saya sendiri tidak ingin jika itu menjadi beban nanti,” terangnya.
Bagaimana dengan DPR RI? Berdasarkan penelusuran koran ini, si Caleg bisa mengeluarkan rupiah dari Rp 1 miliar hingga Rp 5 Miliar. “Kalau yang serius bisa hingga 5 miliar. Tapi kalau penggembira tentu tidak sebesar itu,” ujar salah seorang mantan Caleg yang sebelumnya pernah maju di Pemilu 2014 lalu.
Meksipun kembali maju, dirinya jumlah itu juga bisa berbeda. Seorang petahana tentunya bisa lebih minim karena memiliki akses lebih dari Caleg yang lain. “Makanya harus ada hitung-hitungan. Karena petahana lebih untung dengan akses yang dimiliki,” katanya.
Sementara itu, pengamat politik Hadi Suprapto Rusli (HSR) mengatakan untuk maju di Pemilu legislative, si Caleg harus memiki dua modal yaitu sosial dan kapital. Jika modal sosial tinggi, maka kapitalnya menjadi sedikit. “Tapi kalau modal sosialnya sedikit, modal kapitalnya menjadi tinggi. Maka rata-rata untuk Caleg agar bisa duduk harus memiliki keduanya,” katanya.
Meskipun begitu, modal sosial tetap harus ditopang logitik yang kuat. Karena ada biaya akomodasi, kampanye dan saksi yang harus dikeluarkan masing-masing caleg. “Modal sosial tidak bisa kosong. Karena ada saksi dan kampanye yang harus dilakukan, meksipun disiapkan partai, tapi jumlahnya tentu terbatas,” ucapnya.
Untuk DPRD Kabupaten/Kota, kata Hadi, rata-rata harus menyiapkan biaya minimalnya Rp 50 sampai Rp 200 juta. Jumlah ini sudah memiliki modal sosial tinggi agar bisa duduk. “Kalau tidak bisa lebih dan belum tentu terpilih. Kalau tidak dikelolo bisa habis dan tidak terukur biayanya,” sebutnya.
Begitu juga dengan DPRD Provinsi, sebut Hadi, bisa saja mengeluarkan Rp. 200 juta hingga Rp. 1 miliar. Bahkan ada yang mencapai Rp 5 miliar jika tidak memiliki modal sosial. “Tapi kalau untuk pusat rata-rata bisa 5 sampai 15 miliar. Kalau tidak punya segitu tentu herus pikir-pikir untuk maju,” sebutnya.
“Bayangkan untuk 1 kali pertemuan itu bisa habis 500 ribu sampai 2 juta. Tinggal kali saja berapa kali pertemuan, untuk bayar tim dan yang lain. Itupun belum tentu terpilih. Makanya jika mau nyaleg banyak yang mikir, jangan sampai menggangu ekonomi rumah tangga,” ungkapnya.
Pengamat politik Jafar Ahmad menilai biaya dan segmentasi setiap tingkat bereda untuk masing-masing Caleg mulai dari Kabupaten/Kota, Provinsi hingga RI. Biaya yang dikeluarkan juga relative dari masing-masing calon.
“Karena level yang paling dasar orang memilih itu dari sisi sosiologis, bisa unsure etnis, agama atau satu komunitas. Tapi kelompok sosiologis dari beberapa kali survey kita hanya berlaku efektif untuk DPR yang wilayah cakupannya besar, seperti DPR RI,” katanya.