JAKARTA - The Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh stagnan di kisaran 5,1 persen pada tahun 2018-2019.
Hal ini merupakan hasil dari kondisi kebijakan moneter yang lebih ketat hingga meredam permintaan domestik swasta selama beberapa kuartal mendatang, namun diperkirakan lebih signifikan dibanding upaya-upaya lain untuk mendorong perekonomian Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi kuartal dua pada sebagian besar negara Asia Tenggara sedikit menurun, dengan pertumbuhan PDB rata-rata wilayah tersebut mereda menjadi 5,2% secara year-on-year, yaitu turun dari 5,4 persen pada kuartal 1. Sedangkan Indonesia meningkat menjadi 5,3 persen pada tahun ini.
\"Jumlah tersebut naik dari kuartal satu yang hanya 5,1 persen berkat dorongan akselerasi konsumsi pribadi,\" ujar Sian Fenner selaku ICAEW Economic Advisor Oxford Economics Lead Asia Economist, di Jakarta, Minggu (23/9).
Tantangan ke depan, menurut Sian, kinerja ekspor yang terganggu oleh perang dagang. Tarif baru yang ditetapkan oleh Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok menunjukkan adanya eskalasi ketegangan perdagangan antara AS dan Tiongkok, dan diperkirakan akan semakin memburuk. Walau AS akan tetap fokus berdagang dengan Tiongkok, secara tidak langsung tarif AS pada impor Tiongkok yang lebih tinggi akan berdampak pada wilayah tersebut.
Ke depan, kata Sian, investasi diperkirakan akan memperoleh kembali momentum pada semester 2 ini. Mengingat harga komoditas yang lebih tinggi, investasi pada sektor komoditas akan memulih di 2018 setelah lemah selama 2015-2016. Selain itu, Asian Games pada bulan Agustus dan peningkatan pembelanjaan fiskal menjelang pemilihan umum April 2019 dapat mendorong pertumbuhan singkat terhadap permintaan domestik.Sebaliknya, pelemahan Rupiah dan suku bunga yang lebih tinggi akan berkontribusi pada kondisi finansial yang lebih ketat dan akan membebani dorongan domestik untuk berkembang.
\"Langkah-langkah yang dipertimbangkan oleh pemerintah yang mencakup kebijakan untuk memperlambat bahan baku dan impor modal - terutama yang berkaitan dengan proyek investasi pemerintah dan BUMN - juga menimbulkan risiko penurunan investasi,\" jelas Sian.
Sementara itu, Mark Billington selaku ICAEW Regional Director South-East Asia mengatakan, kondisi finansial yang lebih ketat, ditambah dengan berkurangnya permintaan import Tiongkok dan pertumbuhan perdagangan global, kemungkinan akan menandakan pertumbuhan ekspor dapat melambat selama semester dua. Akibatnya, hal ini akan meniadakan dorongan pertumbuhan di Indonesia untuk beberapa kuartal mendatang.
\"Kami memperkirakan pertumbuhan year-on-year di Indonesia akan sedikit melambat selama semester dua dan tetap pada 5,1 persen pada 2018 dan 2019,” kata dia. Ditambahkan, ekonom Indef (Institute for Development of Economics and Finance), Rusli Abdullah mengingatkan kepada pemerintah agar dalam pengendalian impor harus berhati-hati. Sebab, jika salah langkah justru akan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Di mana, tahun ini pemerintah menargetkan 5,4 persen. \"Masalahnya, akurasi data menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Data pertanian yang karut marut, misalnya, rawan disalahgunakan,\" paparnya. Ia mendorong diversifikasi pangan untuk menekan impor. Meskipun beberapa komoditas tidak bisa diproduksi di dalam negeri. Misalnya, gandum. Padahal, gandum menjadi bahan pokok membuat mie, kue dan lainnya. Menurutnya, salah satu kisah sukses diversifikasi pangan yang bisa ditiru adalah talas Bogor. \"Kalau gandum memang kita menyerah. Tapi, ke depan harus ada rekayasa kuliner. Misalnya, menciptakan mie yang menggunakan tepung singkong, atau tepung beras yang rasanya nggak jauh beda dengan mie instan dari gandum,\" tukasnya.
(mad/fin)