Sewaktu saya menjalani transplant di Tianjin 15 tahun lalu, Meiling masih tinggal di Tiongkok. Lalu kawin dengan orang Singapura. Kini jadi warga negaranya Lee Hsien Loong.
Saya sendiri tidak menyangka terkena Covid. Awalnya saya begitu bangga. Bisa disiplin olahraga di halaman Graha Pena. Setiap hari.
Saya sering mengucapkan terima kasih kepada grup olahraga kami. Yang anggotanya sampai 170 orang. Yang sampai hari itu tidak ada yang terkena Covid.
Saya sendiri selalu menegur anggota yang kurang hati-hati. Misalnya saat duduk-duduk setelah senam. Mereka ngobrol asyik. Melepas lelah.
Sebaliknya saya, pelatih awal, juga selalu ditegur pelatih kami. Terutama kalau saya melayani permintaan foto bersama setelah senam. Yang cenderung heboh-heboh itu.
Tidak saya sangka justru saya yang terkena Covid pertama. Awalnya saya ingin merahasiakan itu dari Robert dan Meiling. Takut dimarahi. Toh saya tidak merasakan gejala apa-apa.
Tapi, hari itu juga, saya putuskan: agar diumumkan ke grup olahraga. Tapi juga agar diumumkan bahwa kemungkinan besar saya terkena Covid di kampung halaman. Bukan di arena olahraga.
Saya sudah berusaha keras: rapat itu berjarak cukup. Semua pakai masker. Tidak ada minuman. Tanpa makanan. Tidak pakai ngobrol.
Toh kena juga. Covid ini memang seperti siluman. Atau arisan.
Pemberitahuan kepada Robert saya lakukan lebih hati-hati. Agar ia tidak kumat diabetesnya. Kepada Meiling saya terus terang: ????????..
Mereka bertanya bagaimana istri dan anak-cucu saya. \"Semua negatif,\" jawab saya. Mereka mengkhawatirkan istri saya. Yang punya gula darah. Dan kolesterol tinggi.
Semua keluarga tes kadar vitamin D. Semua rendah. Saya hanya 23,4. Isna Iskan hanya 16. Padahal sebaiknya minimal 40.
Angka 16 itu aneh sekali. Isna itu anggota School of Suffering yang dipimpin kakaknya: naik sepeda tidak kira-kira jaraknya. Praktis setiap hari. Kok kadar vitamin D-nya hanya 16.
Saya pun minta agar Isna minum obat cacing. Siapa tahu makanan yang masuk ke perutnya tidak jadi vitamin. Masuk ke perut cacing. Saya sendiri 6 bulan sekali makan obat cacing. Murah sekali.
Teman-teman di halaman Graha Pena sendiri memutuskan untuk tetap berolahraga tiap hari. Tanpa saya. Tanpa ustad Huda. Juga tanpa istri saya –yang senam di halaman rumah.
Mereka membuat peraturan lebih ketat: begitu lagunya habis harus langsung bubar. Tidak boleh duduk-duduk dulu. Sambil ngobrol. Pun dengan alasan sambil berjemur.