Saya kena Covid di hari yang sama dengan ustad Misbahul Huda, sesama pimpinan pesantren keluarga. Juga negatif di hari yang sama. Bedanya: saya berobat ke rumah sakit Premier Surabaya. Ustad Huda isolasi di rumah.
Total ada enam orang sepupu saya yang meninggal karena Covid-19. Bahkan adik kandung saya, ustad Zainuddin, ternyata juga kena Covid. Itulah satu-satunya saudara kandung yang masih hidup. Tinggal di Madiun.
Saya telat tahu bahwa adik saya kena Covid. Tahu saya justru setelah ia sembuh. Saya pun bertanya bagaimana ceritanya. Ternyata ia menengok sepupu yang lagi Covid parah. Ia masuk kamar rumah sepupu itu di desa. Ia tahu: sepupu itu lagi menderita Covid berat. Yang tetap di rumah karena tidak bisa masuk RS. Penuh.
\"Apa pun risikonya saya harus menjenguknya,\" kata adik saya. \"Saya tidak tega untuk tidak menjenguk. Ia terus-menerus menyebut nama saya dalam sakitnya,\" ujar Zainuddin.
Dua hari kemudian keponakan itu meninggal dunia. Adik saya menderita sakit panas. Parah sekali. Demam. Batuk. Sakit perut. Sakit tenggorokan. Ia tidak mau masuk rumah sakit. Ia tidak mau minum obat. Ia pilih melawan dengan keyakinan dan zikir.
Kalau saja saya tahu, saya pasti marah sekali. Tapi tahu saya sudah sangat terlambat. Saya hanya bisa tertawa mendengar ceritanya.
Apalagi setelah mendengar istrinya tidak tertular.
Covid ini benar-benar aneh. Ada yang diobati baru sembuh. Ada yang diobati mati. Ada yang tidak diobati sembuh. Ada yang tidak diobati mati.
Setelah sembuh adik saya itu telfon. Ia mendengar kalau saya terkena Covid. \"Tenang saja,\" katanya.
Saya memang tidak panik. Ada alasan lain mengapa saya optimistis hasil akhirnya ini negatif. Itu bisa dilihat dari hasil pemeriksaan harian oleh dokter.
Jelas: semua indikator tubuh saya bagus. Tekanan darah saya justru yang terbaik itu selama di RS ini: 120/70. Sekitar itu terus. Stabil.
Penyerapan oksigen saya bagus: 97. Sekitar itu terus. Stabil. Suhu badan: 36,5. Sekitar itu terus. Stabil.
Rasanya saya ini jenis OTG –hanya saja saya harus \"kiashu\" karena saya ini residivis.
\'Kiashu\' adalah istilah Robert Lai dan dokter Singapura Benjamin Chua. \"Saya harus bersikap kiashu,\" begitu ujar ahli pembuluh darah itu. Artinya: sesal kemudian tidak berguna.
Tiap hari saya mendapat satu lembar kertas: obat apa saja yang diberikan untuk hari itu. Ada obat yang tetap, ada yang berubah. Disesuaikan dengan hasil pemeriksaan harian.
Jadi, kalau saya ditanya diberi obat apa, jawabnya bisa panjang sekali.