SAYA dan Suparno Wonokromo punya banyak kesamaan. Kami sama-sama wartawan, mulai jadi wartawan juga sama sekitar awal tahun 1980 an. Sama-sama mengawali karir di Jawa Pos, anak buah Pak Dahlan Iskan, dan kami juga sama-sama suka wayang.
Saya suka memanggil dia “Dahlan Kunting”. Di tokoh pewayangan ada satria yang namanya Raden Setyaki. Dia mirip sekali dengan Bima.
Tetapi kalau tokoh Bima sosoknya digambarkan besar dan gagah, Raden Setyaki ini bertubuh kecil.
Tapi karakter dan kebijaksanaannyalah yang mirip sekali dengan tokoh Bima.
Begitulah Soparno. Tubuhnya kecil, fisiknya tidak mirip dengan Pak Dahlan Iskan. Tetapi karakter dan perilakunya mirip sekali.
Dan saya kira memang Suparno sangat terinspirasi dengan Pak Dahlan. Dia suka kemana-mana mengenakan sandal jepit dan plastik kresek. Itu juga yang suka dilakukan Pak Dahlan Iskan.
Makanya saya suka memanggil dia dengan Dahlan Kunting. Dan dia tertawa saja dengan panggilan itu.
Dan Suparno itu orangnya memang selalu tertawa. Saat saya jadi Kepala Biro Jawa Pos Jakarta, Suparno reporter saya. Jadi saya tahu persis kalau dia itu pekerja keras, tidak pernah mengeluh dan menolak tugas. Semua tugas dilaksanakannya dengan senang dan tuntas.
Seperti saat dia dikirim liputan ke Timor Timur. Tidak pakai mikir panjang dia langsung berangkat saja.
Saat kami pisah tugas, saya jarang bertemu Suparno lagi. Tapi tahu-tahu ternyata dia sudah membangun kerajaan Sumeks grup di Palembang.
Dia sukses di Palembang. Kebanyakan anak buah Pak Dahlan Iskan sukses di Jawa, baru kemudian merambah luar Jawa, dari Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua.
Nah Suparno ini kebalikannya. Dia sukses nya justru di Sumatera duluan, baru kemudian ke Jawa. Cirebon dan sebagainya. Dan dia sukses juga di sana.
Tapi meski sudah sukses, dia tidak pernah berubah. Dia tetap saja seperti masa kami masih menjadi reporter dulu. Tetap suka ketawa, santai, dan masih suka sama wayang.
Dia serius sekali belajar mendalang. Saya dengar dia malah berguru langsung dengan dalang terkenal Ki Manteb Sudarsono.
Kami dulu pernah mendalang bersama di PLN Jakarta. Saat itu Pak Dahlan Iskan menjabat Dirut PLN. Saya, Suparno da Ki Manteb gantian menjadi dalang. Tapi lakonnya apa saya lupa.
Saya yang pertama tampil. Celakanya, saat saya tampil mendalang, penonton berteriak teriak “turun…turun..”. Aduh saya sudah hampir ngga tahan dan ingin segera turun.
Saat Suparno tampil kedua, dia juga diteriaki yang sama. Disuruh turun hahahaha…
Ternyata bagi penonton, kami berdua dianggap dalang pemula yang mengganggu acara.