Cara mengaduknya yang khas Singapura. Tidak ada di negara lain: kami bersama-sama mengambil mi itu dengan chop stick. Sebanyak yang bisa kami jepit. Kian banyak yang bisa dijepit kian baik.
Lalu kami angkat tinggi-tinggi mi itu. Kian tinggi kian baik.
Kemudian kami jatuhkan lagi ke piring besar itu. Kami ulangi adegan itu. Berkali-kali. Adu banyak. Adu tinggi. Sampai mi itu bukan saja tercampur. Tapi sampai berantakan. Banyak juga yang terhambur. Jatuh di luar piring. Berantakan. Padahal kemampuan bisa menjatuhkan mi agar tetap di atas piring juga bagian dari harapan.
Lalu kami duduk kembali. Membenahinya dan memakannya.
Waktu mencampur mi itu kami lakukan sambil berdiri karena mejanya cukup besar. Agak sulit menjangkau mi dari posisi duduk.
Dua kali saya bermalam Imlek di Singapura. Selalu begitu. Satu restoran, di semua meja, adegannya sama.
Meski pun kali ini secara Zoom adegan itu akan tetap dilakukan Robert dan anak-anaknya. Dari rumah masing-masing.
Di Tiongkok juga kian banyak yang memilih makan malam bersama di restoran. Saya juga dua kali mengalaminya. Bersama keluarga teman di sana. Tapi tidak ada adegan mencampur mi yang atraktif seperti di Singapura.
Tahun lalu di beberapa provinsi di Tiongkok masih bisa merayakan Imlek secara normal. Terutama di provinsi yang jauh dari Wuhan. Tapi kota Wuhan sendiri sudah mulai di-lockdown. Agak telat. Lima juta orang sudah telanjur bepergian –berimlek ke kampung halaman masing-masing. Wuhan memang kota terbesar di Tiongkok tengah. Penduduknya sekitar 12 juta orang.
Saya punya teman di tetangga Hubei –yang ibu kotanya Wuhan. Hari ini –setahun yang lalu– ia sudah mendengar ada wabah besar di Wuhan. Tapi di provinsinya belum ada pembatasan apa pun. Istrinya minta agar hari itu pulang kampung ke provinsi Jiangshu. Bermalam tahun baru di kampung istri.
Teman saya itu minta-minta kepada istri agar keinginan itu dibatalkan. Wabah kian buruk. Tapi sang istri berkeras.
Maka sore itu mereka bermobil ke rumah orang tua suami dulu. Di desa. Sekitar 2 jam dari rumahnya. Setelah sungkem pada orang tua suami, mereka langsung tancap gas ke bandara. Mereka dapat pesawat jam 7 malam. Penerbangan itu satu jam.
Jam 9 malam mereka baru keluar dari bandara tujuan. Keadaan wabah sudah berkembang kian berat. Pembatasan-pembatasan sudah terjadi di kampung istri. Mereka juga tidak mau menerima kedatangan orang luar. Keluarga istri tidak jadi ada yang menjemput ke bandara. Perkembangan wabah berubah drastis dalam 12 jam terakhir.
Maka malam itu mereka tinggal di hotel. Dekat bandara. Ngototnya sang istri –untuk bisa bermalam tahun baru di kampung halaman– berakhir di hotel sepi.
Menurut rencana mereka hanya akan 2-3 hari di situ. Tapi wabah kian gawat. Tidak ada lagi penerbangan balik. Mereka akhirnya balik naik kereta api. Mumpung kereta juga belum dihentikan. Kebetulan jalur kereta itu tidak harus lewat stasiun Wuhan.
Setelah 4 bulan lockdown Wuhan normal kembali. Seluruh Tiongkok terbebas dari pandemi. Semua penebangan sudah beroperasi normal. Demikian juga kereta api. Kasus-kasus baru Covid-19 memang masih ada. Tapi kisaran angkanya hanya belasan. Sempat beberapa hari, bulan lalu, mendekati 100/hari. Tapi segera kembali lagi ke angka belasan. Umumnya itu datang dari penumpang pulang dari luar negeri.