JAKARTA – Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Nomor 14 Tahun 2021 tentang pengadaan vaksin serta vaksinasi COVID-19. Masyarakat yang sudah ditetapkan sebagai penerima vaksin, tetapi menolak vaksinasi akan dikenai sanksi. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 13A ayat (4) Perpres.
Dengan kata lain, pemerintah mewajibkan masyarakat yang terdata sebagai sasaran penerima vaksin untuk ikut program tersebut. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 tahun 2021 itu diteken Jokowi pada 9 Februari 2021. Kemudian diundangkan pada 10 Februari 2021. Perpres ini merevisi Perpres Nomor 64 Tahun 2020.
“Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 berdasarkan pendataan wajib mengikuti vaksinasi Covid-19,” bunyi Pasal 13A ayat 2 sebagaimana dikutip dari situs Setneg pada Sabtu (13/2).
Kewajiban ini dikecualikan bagi masyarakat yang memang yang tidak memenuhi kriteria sebagai penerima vaksin. Adapun masyarakat terdata sebagai sasaran penerima vaksin dan memenuhi kriteria, namun menolak vaksinasi akan dikenakan sanksi administratif.
Sanksi administratif untuk masyarakat yang menolak divaksin sesuai Pasal 13A ayat 4 Perpres Nomor 14 tahun 2021 yakni : 1. Penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial (bansos); 2. penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau 3. denda.
Sanksi tersebut akan diberikan oleh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, atau badan sesuai dengan kewenangannya. Aturan ini dibuat karena pemerintah menilai warga yang menolak divaksin akan membuat pelaksanaan penanggulangan penyebaran Covid-19 menjadi terhambat.
“Selain dikenakan sanksi administratif, dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan undang-undang tentang wabah penyakit menular,” demikian bunyi Pasal 13B.
Dalam Perpres tersebut juga tentang kejadian ikutan pasca-imunisasi. Pemerintah akan memberikan kompensasi apabila ada kasus cacat atau meninggal akibat produk vaksin COVID-19.
Dalam Pasal 15A disebutkan pemantauan kejadian ikutan pasca-vaksinasi COVID-19 dilakukan pencatatan dan pelaporan. Pencatatan dan pelaporan serta investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan atau dinas kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan serta investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan kajian etiologi lapangan oleh Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi dan kajian kausalitas oleh Komite Nasional Pengkajian dan penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi,” bunyi Pasal 15A ayat (3).
Kemudian, dalam Pasal 15B disebutkan ada kompensasi dari pemerintah jika produk vaksin COVID-19 menimbulkan kecacatan atau kematian. Kompensasi ini berupa santunan cacat atau santunan kematian.
Mengenai kriteria, bentuk, dan nilai besaran kompensasi ditetapkan oleh Menteri Kesehatan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.(rh/fin)
Sumber: www.fin.co.id