Saya dulu kuliah jurusan marketing. Salah satu \"ilmu kunci\" yang paling berkesan untuk saya, adalah sesuatu yang berkali-kali ditekankan oleh berbagai profesor, selama bertahun-tahun. Yaitu: \"Never follow the leader.\"
Maksud dari ungkapan itu: Dalam dunia bisnis, jangan pernah mengikuti apa yang dilakukan oleh pemimpin industrimu alias market leader. Sederhana, dalam, dan memberi tantangan kepada kita untuk selalu bergerak, kreatif, dan inovatif.
Alasannya juga sederhana. Kita mungkin melihat di mana market leader itu berada. Kita juga mungkin membaca dan mendengar bagaimana market leader itu mencapai posisinya sekarang. Sekilas, karena kita mempelajari mereka, tandanya kita bisa menirunya bukan? Jawabannya: No!
Kenapa? Karena kita tidak ikut menjalaninya. Kita belum tentu paham filosofi dasarnya. Kita tidak paham proses yang mereka jalani. Kita tidak menghadapi masalah-masalah yang mereka hadapi dalam berproses secara langsung. Jadi, kalau kita menghadapi masalah-masalah itu, cara kita mengatasinya bisa beda. Dan itu bisa membuat kita jadi salah arah.
Maunya meniru, jadinya bisa salah belok dan ambruk.
Lebih parah lagi, kita tidak tahu market leader itu hendak ke mana. Jangan-jangan ketika diikuti, mereka belok mendadak dan kita menabrak tembok!
Sekarang bahas film yang sedang menghebohkan dunia maya, yang sejak Kamis (18 Maret) diputar di HBO Max di Amerika, yang di Indonesia bisa ditonton di app HBO Go.
Zack Snyders Justice League benar-benar sudah ditunggu, khususnya oleh penggemar berat DC Comics. Sebuah film empat jam (ya EMPAT JAM) yang dirilis untuk mengoreksi kesalahan masa lalu. Menghapus dan melupakan film bioskop Justice League, yang diputar di bioskop 2017 lalu.
Buat yang suka film, judul yang satu ini benar-benar hidup naik roller coaster. Sebuah judul yang sangat menjanjikan, karena menampilkan tokoh-tokoh superhero yang dalam sejarahnya jauh lebih populer dari hampir semua karakter Marvel. Superman, Batman, Aquaman, Wonder Woman, plus Cyborg dan Flash.
Sebelum kita membahasnya lebih lanjut, kita harus menegaskan dulu. Marvel Cinematic Universe (film-film superhero Marvel) di bawah naungan Disney adalah market leader dunia film. Dalam sejarahnya, DC banyak lebih mendahului Marvel. Sosok antagonis terbesar Marvel, Thanos, dulunya dibuat untuk menyontek tokoh musuh utama DC, Darkseid.
Ya, DC seperti menang di komik. Tapi Marvel lantas ganti haluan dan menang di bioskop.
Di bawah naungan studio Warner Bros, DC mencoba memburu sukses Marvel di bioskop. Membuat dunia baru di bawah komando sutradara visioner, Zack Snyder (kondang lewat 300 dan The Watchmen).
Dari awal, Snyder punya visi sangat beda dengan gaya Marvel. Di dunia Marvel, ceritanya dibuat sangat mudah, \"terang,\" dan kaya bumbu humor. Tetap dalam dan bermakna, tapi secara overall terasa \"cerah.\"
Snyder, dari awal, condong ke arah lebih gelap. Lebih macho. Superman-nya membunuh di Man of Steel, Batman-nya sudah tua dan sudah capek, sambil memperkenalkan Wonder Women baru ke bioskop. Yang paling saya suka dari Snyder: Pilihan lagu-lagu, khususnya saat intro film. Dalam, mendayu-dayu dan menyanyat, mengajak kita merenung. Tidak mainstream.
Setelah Man of Steel dan Batman v Superman, ternyata respon kritikus tidak seramah untuk Marvel. Warner Bros dan DC, yang sebelumnya sudah \"gagal\" lewat Green Lantern, tampaknya jadi galau. Mereka seolah tidak tahan dibanding-bandingkan dengan Marvel yang lebih \"cerah.\"