Oleh BUKHARI MUALLIM
Beberapa waktu yang lalu, salah satu aktivis dan tokoh muda Kerinci asal Rawang, Fesdiamon, menulis artikel di media massa tentang wacana penggantian nama Kota Sungai Penuh menjadi Kota Kerinci. Seingat saya, beberapa tahun lalu, ia juga sudah pernah menulis di salah satu media massa di Jambi tentang tema yang sama. Tapi, kali ini artikelnya lebih spesifik dan argumentasinya lebih kuat.
Ia memberikan beberapa contoh daerah lain di Indonesia, seperti Kota Bogor dan Kabupaten Bogor; Kota Blitar dan Kabupaten Blitar; Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang; Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi; Kota Tegal dan Kabupaten Tegal; Kota Madiun dan Kabupaten Madiun. Bahkan ada contoh terdekat, daerah tetangga, yaitu Kota Solok dan Kabupaten Solok. Yang satunya kota, yang satunya kabupaten. Tapi namanya tetap satu: Solok.
Tulisan Fes (sapaan akrab Fesdiamon) mendapat banyak respon positif dari netizen di media sosial. Kalau dibaca komentar-komentar netizen, baik di Facebook maupun di grup-grup WhatsApp, rata-rata menyambut baik wacana ini. Karena rencana nama “Kota Kerinci”, oleh beberapa kalangan, dianggap lebih representatif atau lebih mewakili aspirasi masyarakat, terutama daerah-daerah sekitarnya seperti Kumun, Tanah Kampung, Sungai Liuk, Rawang, dan lain-lain. Nama “Kota Kerinci” lebih mewakili rasa kedaerahan, dan cakupannya pun lebih luas ketimbang nama Sungai Penuh.
Cara mengganti nama daerah
Dalam tulisan Fesdiamon, di media teropongjambi.id, (https://teropongjambi.id/ganti-nama-kota-sungaipenuh-menjadi-kota-kerinci-wacana-mengembalikan-nama-besar-kerinci/) tidak dijelaskan secara detail, terutama dari perspektif hukum, tentang cara-cara mengganti nama sebuah daerah otonom. Ia juga tidak menyebutkan contoh-contoh daerah mana saja yang telah mengganti nama. Ia hanya menyinggung sekilas tentang cara mengganti nama daerah di Pasal 48 UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana cara mengganti nama daerah, serta beberapa contoh daerah lain.
Sebagian alasan dari kalangan yang merasa sulit mengganti nama Kota Sungai Penuh menjadi Kota Kerinci adalah karena menganggap sulitnya mengubah undang-undang. Padahal, tidaklah demikian. Sudah banyak daerah-daerah di Indonesia yang mengganti nama daerahnya. Perubahan nama daerah tidaklah dengan mengubah undang-undang, tapi cukup ditetapkan dengan PP (Peraturan Pemerintah). Beberapa contoh dapat saya sebutkan di sini adalah: Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) resmi berubah namanya menjadi Kabupaten Kepulauan Tanimbar.
Perubahan tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2019 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo. Perubahan nama MTB menjadi Kepulauan Tanimbar merupakan upaya masyarakatnya untuk mempertegas jati diri sebagai anak adat Tanimbar yang memiliki tatanan adat istiadat, kultur budaya, serta sejarah asal-usul. Hampir sama semangatnya dengan apa yang berkembang di kalangan masyarakat Kota Sungai Penuh saat ini.
Daerah lainnya adalah Kabupaten Polewali Mandar. Daerah ini, awalnya bernama Kabupaten Polewali Mamasa disingkat Polmas yang secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Setelah daerah ini dimekarkan dengan berdirinya Kabupaten Mamasa sebagai kabupaten tersendiri, maka nama Polewali Mamasa pun diganti menjadi Polewali Mandar. Perubahan nama ini ditetapkan dalam PP Nomor 74 Tahun 2005 tentang Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Menjadi Kabupaten Polewali Mandar.
Ada juga Kabupaten Pasangkayu di Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar). Kabupaten Pasangkayu adalah nama baru dari penggantian nama Kabupaten Mamuju Utara. Pergantian nama tersebut juga disahkan melalui Peraturan Pemerintah, yakni PP Nomor 61 Tahun 2017 tentang Perubahan Nama Kabupaten Mamuju Utara Menjadi Kabupaten Pasangkayu di Provinsi Sulawesi Barat
Yang terbaru, adalah perubahan nama Kabupaten Toba Samosir menjadi Kabupaten Toba. Presiden Jokowi menandatangani perubahan nama tersebut. Hal itu sesuai dengan aspirasi masyarakat dan adat setempat. Perubahan itu juga ditetapkan dengan PP, bukan dengan undang-undang. \"Nama Kabupaten Toba Samosir sebagai daerah otonom dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara diubah menjadi Kabupaten Toba,” demikian bunyi Pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2020.
Jadi, cukup jelas, penggantian nama kota atau kabupaten tidak mesti harus mengubah undang-undang. Cukup ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Dalam Pasal 48 UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, jelas diatur tentang ketentuan penggantian nama daerah.
Hanya butuh political will
Nah, sekarang sudah jelas bahwa mengganti nama kota tidaklah sesulit yang dibayangkan beberapa kalangan. Karena penggantian nama daerah tak mesti mengubah undang-undang. Tinggal sekarang, jika masyarakat Kota Sungai Penuh menginginkan penggantian nama kota menjadi kota Kerinci, yang dibutuhkan ialah political will (kemauan politik) dari Pemerintah Kota dan juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota.
Pemerintah Kota dan DPRD harus menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Anggota DPRD yang telah dipilih oleh masyarakat secara langsung melalui pemilu dan juga walikota melalui pilwako, tentu harus menyerap aspirasi masyarakat yang berkembang. Hanya yang dibutuhkan sekarang adalah kemauan politik (political will). Jika ada kemauan, tinggal diajukan usulan ke Presiden (cq. Kemendagri) disertai alasan dan pertimbangan-pertimbangan, baik itu dari sisi sosial, adat-istiadat, maupun budaya.
Salah satu pertimbangannya adalah, menurut saya, nama Kota Kerinci lebih representatif dan aspiratif. Ia bisa mempertegas jati diri masyarakat secara kultur budaya, suku, serta sejarah asal-usulnya. Ia bisa menjadi pemersatu masyarakat Kerinci sebagai satu kesatuan asal-usul suku, yakni “suku Kerinci”. Ia juga menjadi “identitas kebanggaan” masyarakat sejak dulu ketika berada di luar daerah. Secara ekonomi pun nama Kerinci lebih mudah “dijual” (sebagai branding) ketimbang nama Sungai Penuh. Dan kalau tidak diganti, generasi yang akan datang bisa lupa akan sejarah dan asal-usulnya.
*) Penulis Dosen STIA Nusa Sungai Penuh dan Alumni FISIP Universitas Ekasakti, Padang