Kurniawan kuliah di California State University Northridge, dekat Los Angeles.
Ketika visanya habis, Kurniawan berusaha menjadi warga negara Amerika. Ia memilih cara minta suaka politik –seperti yang sangat banyak dilakukan warga Tionghoa Indonesia di Amerika saat itu. Kerusuhan rasial Mei 1998 menjadi alasannya.
Kurniawan tidak berhasil. Permohonan suaka politik itu ditolak.
Pengadilan bahkan memutuskan agar Kurniawan mendeportasikan diri secara sukarela –agar tidak terkena hukum di sana. Ia diberi batas waktu: harus kembali ke Indonesia paling lambat akhir 2003.
Kurniawan memilih tetap di Amerika –hidup secara ilegal. Soal ekonomi tidak masalah baginya. Ia keluarga kaya. Apalagi paman-pamannya juga dikenal sangat kaya: Hendra Rahardja dan Edy Tansil. Mereka punya bank. Saya sudah lupa bank apa yang pernah mereka punya.
Sebagai pendatang ilegal Kurniawan memilih jalan yang benar di Amerika: jangan bekerja pada orang lain. Harus bekerja sendirian. Menghasilkan uang sendiri.
Ia juga benar ketika akhirnya memilih menjalankan teori bisnis ini: menjadikan hobi dan kesenangan sebagai bisnis utama.
Kurniawan punya kesenangan minum anggur merah. Red wine. Ia tahu dunia itu. Lebih dari sekadar tahu. Pun lika-likunya. Ia harus menjadi orang terkemuka di bidang itu. Dan dia tahu caranya. Meski harus lewat cara yang mahal.
Kurniawan pun terjun ke dunia pelelangan wine. Ia ikut lelang: sebagai pembeli wine. Di setiap lelang wine yang mahal-mahal Kurniawan ada di situ. Ia menjadi cepat terkenal. Ia sering mengalahkan peserta lelang dari mana pun.
Dalam satu tahun, Kurniawan bisa membeli anggur merah sampai Rp 14 miliar. Ia pun sering diwawancarai pers. Anggur-anggur itu, katanya pada media di sana, hanya untuk disimpan. Untuk koleksi. Sebagai hobi. Toh harganya akan terus naik.
Maka Kurniawan pun segera terkenal sebagai kolektor wine. Termasuk kolektor wine vintage –yang sudah disimpan lebih dari 20 tahun.
Setelah namanya terkenal sebagai kolektor kelas berat –di lingkungan masyarakat wine– Kurniawan pun punya reputasi hebat. Maka ketika ia mulai menjual koleksi wine-nya, orang pun percaya. Termasuk percaya pada kualitas wine yang dijualnya.
Kurniawan segera naik kelas. Ia menjadi pelelang tepercaya wine. Pernah dalam satu lelang yang ia adakan, Kurniawan mendapat penawaran sampai sekitar Rp 500 miliar.
Apalagi ketika Kurniawan mengadakan lelang wine merek Château Lafleur bikinan tahun 1947.
Itu wine bikinan Prancis. Termasuk yang paling terkenal di dunia. Sampai saya ingin bisa merasakannya –pun bila hanya untuk di ujung lidah.
Wine merek itu dibuat di pabriknya yang di pinggir sungai Bordeaux. Bahan bakunya berupa anggur dari perkebunan anggur Pomerol –yang terbaik di seluruh Prancis.