JAKARTA – Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dan pakar epidemiologi dr Tifauzia Tyassuma kompak menguliti efektivitas vaksin vaksin Sinovac.Dokter cantik yang akrab disapa dr Tifa ini mentatakan ada tiga hal yang harus diperhatikan sebelum memilih dan menggunakan vaksin.
“Yang pertama tentu saja soal keamanan atau safety, kemudian yang kedua adalah efektivitas, kemudian yang ketiga adalah imunogenitas,” ucap dr Tifa di kanal YouTube Siti Fadilah Supari Channel.
Untuk promo April silakan klik http://bit.ly/MitsubishiPromoAPRIL
Imunogenitas, kata dr Tifa, artinya bagaimana vaksin ini berhasil membangun anti bodi yang diperlukan untuk mencegah infeksi virus.
Tiga hal ini, menurut dr Tifa, kurang disosialisasikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Padahal, kata dia, safety, efektivitas dan imunogenitas hanya bisa didapatkan dari uji klinis fase tiga.
Dr Tifauzia Tyassuma alis dr Tifa
Dikatakan dr Tifa, vaksin yang digunakan di Indonesia, termasuk vaksin Sinovac, belum selesai uji klinis fase tiga. “Seharusnya nih kalau kita mau ambil vaksin untuk kita pilih, kita harus memilih vaksin mana yang sudah selesai uji klinis fase tiganya,” ucapnya.
“Dan pemerintah kalau mau belanja juga harus belanja vaksin yang sudah selesai fase tiganya,” sambungnya.
Dr Tifa menegaskan dirinya bukan menolak vaksin. Tapi panduannya tetap harus diikuti sebelum menggunakan vaksin. Dia mengaku senang sekali dengan adanya vaksin karena hal itu merupakan salah satu strategi untuk mempercepat pelandaian pandemi Covid-19.
“Tetapi dalam memilih vaksin, seharusnya diketahui hasil uji klinis fase tiga,” ucapnya.
Kalau pun belum ada hasil uji klinis fase tiga, maka bisa meminjam uji klinis fase tiga negara lain dengan vaksin yang sama.
“Untuk diketahui vaksin pertama yang dibeli pemerintah, yaitu Sinovac, itu kan belum selesai uji klinis fase tiganya,” ucapnya.
Artinya, kalau mau pakai vaksin Sinovac, maka harus meminjam uji klinis yang sudah selesai di negara lain.
Sampel Sinovac Tak Representatif
Dr Tifa juga menyoroti uji klinis vaksin Sinonac di Indonesia yang jumlah sampelnya sangat kecil, hanya 1.620 orang. Itu pun mayoritas sampelnya hanya ada di satu provinsi, yakni Jawa Barat. Padahal jumlah penduduk Indonesia 270 juta jiwa lebih.
Di negara lain, kata dia, sampel uji klinis cukup representatif dan menyebar ke semua provinsi.
Di Turki misalnya, jumlah sampelnya sebanyak 10.000 lebih. Padahal jumlah penduduknya hanya 82 juta jiwa, jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia.