Tapi, lembaga not for profit boleh menggunakan uang perusahaan untuk membayar gaji karyawan. Dengan gaji yang tinggi sekalipun. Untuk membuat lembaga tersebut maju.
Dengan The Straits Times menjadi lembaga not for profit, tidak ada lagi tekanan dari pemegang saham publik. Selama ini, sebagai perusahaan publik, pemegang saham terus menuntut laba, laba, dan laba. Dan itu tidak mungkin. Di era digital sekarang ini.
Apa bedanya dengan lembaga nonprofit? Ia sama sekali tidak boleh mempunyai kegiatan yang menghasilkan laba. Karena itu, jenis tersebut bukan yang dipilih SPH.
Setelah berubah menjadi perseroan terbatas bergaransi nanti, bisnis media itu tidak ada lagi hubungannya dengan SPH. Bahkan, bisnis media tersebut tidak akan punya pemegang saham. Yang ada adalah anggota lembaga. Merekalah yang menggaransi perusahaan itu akan tetap berjalan. Bahkan boleh saja pengurus dan anggota lembaga itu membubarkannya.
Sampai sekarang belum diketahui siapa yang akan menjadi pengurus dan anggota The Straits Times model baru itu.
Perubahan status dari perusahaan publik ke perusahaan bergaransi tersebut ternyata tidak hanya untuk menghindarkan media dari tekanan pemegang saham. Tapi, juga untuk mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Misalnya dalam hal pajak. Atau pemberian subsidi.
Singapura, yang persnya tidak bebas, ternyata justru memiliki pemikiran untuk menyelamatkan pers. Tapi, mungkin saja pemikiran dasarnya bukan itu. Justru untuk menyelamatkan bisnis holding dari seretan kesulitan di bisnis medianya.
Apakah setelah ini The Straits Times akan menjadi lebih independen? Rasanya tidak mungkin.
Yang juga masih ditunggu adalah: apakah ada pemegang saham baru yang masuk ke dalamnya. Mungkin juga tidak.
Apa pun, Singapura telah memberikan contoh ada pilihan baru bagi masa depan media. (Dahlan Iskan)