“Boleh kutanyakan tentang Samuel.” Ucap Ciel pelan, Soheila menegang beberapa saat dan akhirnya menghela nafas pelan.
“Apa yang ingin kau tanyakan?” Tanya Soheila dengan nada yang terkesan santai, sangat santai.
“Hufft,” hela Ciel, “tidak jadi, aku hanya sedikit kacau, maaf menanyakan itu.” Ciel meringis melihat raut wajah Soheila yang terkesan santai sekali, niatnya yang ingin bertanya malah menjadi ragu dan merasa tidak enak takut Soheila manjadi murung atau bersedih. Ciel tidak ingin mengacaukan harinya bersama Soheila.
Soheila menatap Ciel yang tidak jadi melontarkan pertanyaan padanya, bukannya tidak tahu. Soheila tahu bahwa Ciel memiliki banyak pertanyaan padanya mengingat pasti Ciel sangat bingung sekarang dengan apa yang dialaminya. Hanya saja, Soheila belum siap untu bercerita mengenai masa lalunya, bukan kerena tak ingin namun lebih mengarah kepada ketidakmampuan dirinya berkata pada Ciel.
Soheila mengulas senyum tulus pada Ciel yang terlihat sangat peduli dan selalu menjaga perasaannya, menjadikan kenyamanan Soheila sebagai prioritas utama dibanding rasa penasarannya. Jika ditanya, tentu saja Soheila bahagia dengan perlakuan Ciel, dan Soheila juga tidak munafik untuk menampik perasaannya yang mulai tumbuh pada Ciel.
Soheila menarik ujung kaos Ciel, menatap Ciel dengan tatapan yang sulit diartikan. Merasa tak paham dengan tingkah Soheila, Ciel menaikkan alisnya sebelah seolah bertanya ada apa. Soheila tersenyum lebar sebelum dirinya tiba – tiba melompat ke pelukan Ciel, dipeluknya Ciel erat dan mengendus rakus aroma Ciel yang khas.
Ciel yang mendapati pelukan tiba – tiba dari Soheila sedikit terkejut, hampir saja terjungkal jika tubuhnya tidak sigap menopang beban tubuhnya dan tubuh Soheila. Ciel tersenyum tulus dan membalas pelukan Soheila tidak kalah erat.
Seolah tahu, Ciel tidak berkata apa – apa selain memeluk Soheila dan mengusap rambut Soheila lembut, menyalurkan rasa rileks dan tenang pada Soheila.
“Ciel,” panggil Soheila.
“Ya?” jawab Ciel.
“Ciel, aku menyayangimu.” Ujar Soheila pelan.
Ciel yang mendengarnya tentu saja bahagia, akhirnya Soheila membuka hati untuk Ciel, Ciel semakin erat memeluk Soheila dan kali ini senyumannya juga tak kalah lebar.
“Ciel, aku...aku…” Soheila tidak dapat melanjtkan ucapannya selain karena gugup dirinya merasa malu.
“Aku?” Tanya Ciel penasaran dengan lanjutan kalimat Soheila.
“Aku...aku…men,” Soheila menghela nafas pelan, mengapa rasanya sulit kali untuk mengucapkan kata ‘aku mencintaimu’, lidah Soheila terasa kelu setiap ingin mengatakannya, dan lagipula Soheila takut perasaannya tak berbalas, karena belum sekalipun Soheila mendengar Ciel mengatakan itu kepadanya.
“Aku mencintaimu,” bisik Ciel pelan dan mendengarnya tak ayal membuat Soheila bahagi, perasaan menggelitik dan debaran yang tidak lagi dia rasakan muncul memporak – porandakan tubuh dan pikiraanya. Soheila tersenyum senang.