“Sakit!”
“Tolong Jeje Cipta, Sakit!!!”
Berulang kali Jeje berteriak memanggil Cipta, mengadu betapa ia benar – benar kesakitan. Lambat laun rasa sakit itu perlahan menghilang menyesakkan jejak – jejak sakit kecil yang tidak separah rasa sakit sebelumnya, seiring itu Jeje juga merasa mengantuk, entah mengapa tapi rasanya ia benar – benar mengantuk ingin tidur.
Samar – samar dapat Jeje dengar teriakan Cipta yang terus memanggil namanya keras, menepuk pipinya berulang kali. Selain itu dapat Jeje rasakan punggungnya basah dengan aroma amis yang mungkin saja itu adalah darahnya. Jeje berusaha menggenggam tangan Cipta pelan, tersenyum kecil dan dapat Jeje rasakan sudut matanya basah, untuk pertama kalinya Jeje menangis di hadapan Cipta. Padahal dirinya sendiri yang berjanji pada Cipta bahwa ia akan menjadi teman, sahabat, saudara yang bisa diandalkan oleh Cipta kapan saja. Lalu mengapa sekarang ia yang tak berdaya di hadapan Cipta?
Jeje menangis pelan, kali ini Jeje membiarkan air matanya terbendung lalu jatuh, ini bukan tentang kesakitannya, mungkin sedikit menangis untuk rasa sakit ini namun yang membuatnya lebih tak dapat menahan tangisnya adalah kepastian yang belum tentu ia dapatkan. Jeje tidak tahu berapa lama dirinya akan mampu bertahan, apakah ini menjadi ajal kematiannya. Jika iya, Jeje tidak mengingkarinya atau menyesal karena kematian ini tiba lebih cepat. Jeje hanya kecewa, ia menyia –nyiakan waktunya jauh dari Cipta.
Bagi Jeje, Cipta itu layaknya lentera, cahaya yang selalu datang kala gelap menyelimutinya. Sekali saja, Jeje ingin memeluk Cipta lebih lama, membicarakan apapun bersama Cipta lebih banyak. Apapun asal itu bersama Cipta, jika tidak, biarkan Jeje mengatakan bahwa ia sangat berterimakasih pada Cipta tentang segala yang sudah mereka lewati, bagaimana setiap masa yang mereka lalu berakhir dengan suka duka, kadangkala bahagia penuh dengan suka cita, kadang pula mereka berduka pada hal yang seharusnya menjadi tawa.
“Cipta,”
“Makasih untuk semuanya,”
Jeje tidak dapat lagi menahan rasa kantuknya, matanya terus memberat. Setelah suara samar – samar Cipta hanya denging panjang yang terdengar memekkakkan telinga yang dapat Jeje dengar, dan perlahan kegelapan merenggut kesadarannya. Jeje memutuskan untuk menutup matanya, mungkin ada kemungkinan jika Jeje memilih menutup matanya ia tak mampu untuk membukanya lagi. Namun, semua itu hanya tentang mengikhlaskan, walau tidak mudah, itulah takdir yang harus ia tepati. Jeje harus menuntaskan rasa kantuk dan sakitnya lalu bertemu Cipta kembali. Bersamaan dengan itu genggaman tangan Jeje terlepas, dan air mata Jeje jatuh dengan iringan teriakan Cipta.
“Happy Lose Boy, Maaf Jeje nggak ada disamping Cipta. Bahagia selalu Cipta,” (*)
Bersambung