“Bunda,” adu Cipta lirih, “Jeje bunda,” tubuh Cipta terkulai lemas di lantai, tangisnya memburu, isakannya begitu pilu, tubuhnya lelah dan rintih, namun hatinya jauh lebih terluka. Padahal Jeje selalu berjanji untuk membahagiakan Cipta, mengapa sekarang Jeje menjadi orang pertama yang memberi luka teramat dalam pada Cipta.
“Je-Je, bunda” Ujar Cipta lagi, Bunda tahu benar bagaimana perasaan Cipta, ini adalah pertama kalinya Cipta terlihat sangat Hancur, melihat kondisi Cipta, Bunda turut iba, dipeluknya Cipta sesaat. Tidak ada kata – kata yang dapat Bunda ucapkan untuk Cipta, hanya pelukan erat. Didalam peluk bunda, Cipta menangis keras, meneriakkan segala gundah yang ia tahan, meloloskan semua perasaan yang berkecamuk yang terus saja menjadi badai dalam dirinya.
Dengan langkah tertatih, Cipta menghampiri Jeje. Wajah yang biasanya ceria dengan suara lengkingan khas itu tampak pucat. Tidak ada senyum seperti biasanya saat Jeje melihat Cipta, bahkan biasanya gigi putih Jeje akan terlihat dari jauh karena senyumannya untuk Cipta. Masih, Cipta ingat jelas bagaimana bersamangatnya Jeje datang menyambutnya beberapa saat lalu.
“Jeje,” Panggil Cipta pelan, Cipta teduduk lesu di lantai, isak tangisnya masih terdengar pelan, namun ia paksakan senyum terpahat di bibirnya, walau sakit Cipta akan menahannya agar Jeje tidak lagi khwatir padanya. Cipta menggengam erat tangan Jeje yang kini sepenuhnya terasa dingin layaknya es, membuat Cipta kembali ditampar oleh kenyataan, bahwa Jeje telah tiada.
“Je, Cipta minta maaf buat semuanya.” Ujar Cipta dengan senyum ceria, segala tangisnya ia tahan. Untuk terkahir kalinya di depan Jeje, Cipta ingin terlihat kuat, Cipta akan melepas Jeje tanpa menyusahkan Jeje, Jeje tidak perlu mencemaskannya lagi setiap saat, Jeje tidak perlu khawatir lagi pada Cipta, karena setelah ini Cipta berjanji bahwa ia akan selalu baik – baik saja, akan bahagai dan selalu tertawa, demi Jeje, Cipta akan melakukan segalanya.
“Jeje, Cipta pasti bakal kangen banget sama Jeje.” Cipta diam beberapa saat, mendongkkan kepalanya, menahan air matanya yang terus ingin jatuh. “Jeje capek banget ya? Sampe pengan istirahan lama banget? Kenapa? Sekali aja Je, jawab Cipta! kenapa Jeje ninggalin Cipta?” Cipta tertawa, lelucon macam apa ini, terasa lucu namun menusuk seluruh hati dan jatungnya.
“Je, kita bahkan belum sempat ngerayainn kalahnya Cipta. kalo tau gini, Cipta juga ogah kali ke Vienna, kalo tau Jeje bakal ninggalin Cipta, malam itu Cipta nggak nolak di peluk Jeje. Kalo tau Cipta bakal kehilangan Jeje, Cipta bakal lebih milih ketinggalan pesawat.” Adu Cipta dengan senyuman tulus menerawang balik beberapa hari ke belakang.
“Magenta nggak akan punya teman cerita lagi, Magenta bakal kehilangan sahabatnya. Iyakan Je?” Cipta terisak berusaha mempertahankan senyumnya, “Jeje tau, Cipta kehilangan apa aja?” tanya Cipta, “Cipta kehilangan saudara, Cipta kehilangan teman, Cipta kehilangan sahabat, Cipta kehilangan keluarga. Cipta kehilangan segalanya Je,” adu Cipta pilu, kali ini dirinya tak lagi mempertahankan senyumnya, Cipta terlalu terluka untuk terlihat baik – baik saja.
“Jeje masih ingat kan? Dulu Jeje pengen banget dipanggil abang sama Cipta?” ingat Cipta, “Jeje mau denger nggak? Kalo mau, bangun!” suruh Cipta sambil tertawa.
Saat itu, Cipta dan Jeje kecil selesai menonton serial tentang kakak – adik perempuan. Cipta tidak terlalu ingat apa judul serial tersebut, pada serial itu sosok Kakak digambarkan sangat keren, betapa hebatnya saat kakak melindungi adiknya dari perundungan, berusaha keras membuat adiknya bahagia, dan selalu menangis diam – diam di belakang adik, tak pernah sekalipun kakak tampak sedih di depan adik. Kata adik, kakak itu layaknya matahari yang tak pernah letih, selalu berbagi walau ia tercaci, tersisihkan. Kata adik, kakak itu yang terbaik.
“Jeje itu abangnya Cipta,” Ujar Jeje waktu itu tiba – tiba pada Cipta yang tengah memakan pisang goreng buatan bunda.
“Abang?” tanya Cipta bingung, “Iya abang, kayak yang di film tadi. Jeje itu abang buat Cipta,” jelas Cipta.
“Nggak, Cipta lebih cocok jadi abang, Jeje jadi adek.” Protes Cipta,
“Jeje yang jadi abang,” Ujar Jeje memaksa sambil melotot pada Cipta. Melihat mata Jeje, mengundang tangis Cipta, Jeje terlihat menyeramkan.
“Bunda…” teriak Cipta dengan tangis. Melihat Cipta menangis membuat Jeje panik, segera Jeje memeluk Cipta erat.
“Cup Cup Cup jangan nangis, maafin Jeje,” Ujar Jeje memeluk Cipta erat lalu menghapus air mata Cipta. Mata dan hidung Cipta memerah, terlihat imut dan menggemaskan di mata Jeje.