Kamis 12-08-2021,00:00 WIB

Jeje tertawa jumawa melihat betapa Cipta begitu Hancur kehilangannya, sesayang itu kah Cipta pada dirinya? Ah, Jeje merasa sedikit terharu pada Cipta, hanya sedikit tidak lebih, supaya Cipta tidak terlalu pede nantinya. Jeje bukannya tidak terluka, sama seperti Cipta, Jeje terluka lebih hebat. Awalnya, Jeje merasa bingung dengan segala yang ia dapati, di rumah sakit Jeje terus melihat Cipta beteriak untuk menyelamatkan seseorang, dan nama orang itu sangat mirip dengannya, Jeje.

Tidak hanya itu, Bunda Cipta, Ayah Cipta, dan Bundanya sendiri juga menangis, seolah Jeje yang mereka maksud adalah dirinya. Hingga akhirnya Jeje melihat Magenta, Magenta tampak cemas dengan penampilan yang sedikit acak – acakan, tidak seperti biasanya, mana Magenta yang selalu tampak rapi dengan setelan dan tas biolanya. Jeje, melihat lutut Magenta berdarah, dasar wanita ceroboh, sedari dulu tidak pernah berubah.

“Magenta kalo apa – apa itu hati – hati dong, lo liat noh lutut lo,” Omel Jeje, namun Magenta tidak menggubris perkataannya, “MAGENTA!” Teriak Jeje, Magenta tak mendengarnya. Seolah tuli, Magenta sama sekali tak menyadari kehadiran Jeje. Jeje gamang dengan apa yang terjadi, apa yang dialami seolah ia kasat mata oleh orang –orang sekitarnya.

Jeje mengikuti Magenta menuju ruang mayat dan menangis serta berteriak histeris, benak Jeje bertanya – tanya, siapa yang pergi meninggalkan mereka hingga Magenta menangis semenyakitkan itu. Jeje turut memasuki ruang mayat dan betapa terkejutnya dirinya saat melihat orang yang terbaring di brankar mayat itu serupa dengan dirinya, tak ada bedanya, mereka tampak seperti Copy-Paste.

Jeje merasa aneh dengan dirinya, belum lagi kilas balik darah, mobil, Cipta, Jalanan, bandara, Anyelir, Ayah dan Bunda Cipta, selendang hingga akhirnya teriakan Cipta terus berulang – ulang terputar layaknya kaset rusak di kepalanya. Mata Jeje membelalak, itu benar dirinya, dirinya tiada di dikecelakaan itu. Jeje ingin menangis namun rasanya aneh kenapa ia harus menangis saat takdir sudah menjumpainya.

Jeje tersenyum gamang melihat Magenta begitu terluka, bukannya tidak peduli, untuk bertindak pun Jeje juga tidak tahu harus apa. Jeje mengelus pelan puncak kepala Magenta membalas segala perkataan Magenta dengan lembut,

“Jeje juga Mencinta Magenta,” Balas Jeje kala Magenta mengakui isi hatinya, Jeje tersenyum lega. “Maaf dan Juga terimakasih Magenta, Maaf untuk segala yang membuat luka, dan terimakasih atas segala kisah yang pernah kita lewati, sekali lagi, Maaf dan terimakasih.”

Satu tetes air mata turun dari pelupuk mata Jeje, Jeje juga kehilangan, ia kehilangan dirinya, temannya, sahabatnya dan keluarganya, Jeje kehilangan segalanya.

Setelah Magenta, Jeje menemui Cipta, Jeje terus tertawa lepas dan tersenyum jumawa saat Cipta menangis untuknya atau sekedar membisikkan kata – kata penuh haru dan tulus untuknya. Bagi Jeje, jika Cipta yang melakukannya, semuanya terasa menggelikan. Bahkan Jeje sampai bergidik ngeri, namun tak dapat ditampik Jeje juga merasa hangat di hatinya, Cipta memenuhi relung hatinya tanpa sedikpun celah tersisa. Bagaimana Cipta menangis dan tertidur di makamanya, obrolan Cipta dengan Magenta, hingga tangis Cipta yang pecah di depan ayah, Jeje menyaksikan semuanya.

Mungkin bisa jadi ini menit terakhir atau detik terakhir Jeje dapat memandang Cipta, dikurasnya habis agar rasa rindunya nanti terobati memandang wajah Cipta. Cipta menangis saat memasuki kamarnya, tangis Cipta bahkan semakin keras dan pilu saat Cipta menerima hadiah dan membaca suratnya.

Dan saat Jeje melihat Cipta membuang hadiahnya begitu saja, Jeje terkejut bukan main. Bisa – bisanya Cipta membuang sepatu yang ia berikan begitu saja, tak tahukah Cipta bahwa ia menguras tabungannya hanya untuk membeli sepatu yang paling ori-nya. Bahkan ia mengurungkan niat untuk membeli sepatu barunya demi hadiah Cipta. Dan lagipula apa Cipta tak bisa menghargai pemberiannya, setidakya sepatu itu berasal dari kerja kerasnya, dan camkan bahwa tidak ada orang seperti Jeje yang memberi hadiah padahal Cipta kalah. Dasar Cipta, hobinya memang menyakiti Jeje saja.

“Jeje …” Panggil Cipta serak, tangisnya tak kunjung reda, “Cipta pengen ngeliat Jeje,” adu Cipta lagi.

Jeje menatap Cipta lamat, kalo sudah begini Jeje tak akan pernah tega memusuhi Cipta, Cipta seperti anak lima tahun yang kehilangan mainan kesayangannya.

“Jangan nangis, lo udah gede!” Ujar Jeje berjongkok di hadapan Cipta yang menekuk lututnya di sisi pianonya, Jeje mengacak rambut Cipta pelan.

“Je, kalo hari itu Cipta tahu, Cipta nggak akan minta jemput sama Jeje. Kalo Cipta tahu, Cipta nggak akan biarin Jeje pergi.” Cipta terus meraung, berandai – andai jika dirinya tahu, dirinya tidak akan membiarkan segalanya terjadi dan Jeje akan tetap ada.

“Cipta – Cipta,” heran Jeje pada Cipta, “emangnya lo tuhan sampai lo tahu semuanya! Dengerin gue baby giant, gue berharap lo bakal hidup baik – baik aja setelah ini. Mana sih Cipta yang biasanya tengil banget, lagian lo harus nyari penggantinya Windi, lo mau lajang selamanya?!” Omel Jeje pada Cipta, seolah mendengarkan Cipta tidak mengatakan apa – apa, Cipta hanya menangis dengan padangan lurus menatap mata Jeje. Jeje seolah merasa Cipta dapat mendengar dan melihatnya.

Tags :
Kategori :

Terkait