Bagian mana yang tak bisa kau kulik dariku?
Hingga kau lebih melirik dia dibandingku?
Sari mana yang tak dapat kau petik dariku?
Hingga Kau lebih memilih dia dibandingku?
-Ilalang, Sudah Waktunya Aku Pulang…
>>>>>>>********<<<<<<<
Bulan sudah membumbung tinggi, malam pun tampak semakin kelam. Siur – siur angin terasa sangat pelan dan dingin, membuat siapapun semakin bergelung erat dengan selimutnya begitupula dengan Ananda Ginanja. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga malam, namun sejak orang – orang di rumahnya memutuskan untuk tidur, Ginanja masih juga belum tertidur. Malam itu adalah musuh abadi Ginanja, Ginanja sangat membenci malam, namun malah setiap malam ia yang tak bisa tidur.
Setiap hari, Ginanja selalu berharap bahwa ia tidak akan pernah bertemu malam, ia akan melalui malam dengan tidur yang nyenyak dan mimpi yang indah, nyatanya malam adalah abdi setianya. Insomnia, sialan! Sudah ratusan hampir ribuan kali Ginanja mencoba menyembuhkan insomnianya agar ia dapat tertidur, semakain ia mencoba semakian tidak bisa tidur pula dirinya.
Sadar akan tidak ada harapan tidur lagi, Ginanja bangkit dari kasurnya. Sudah waktunya ia sholat malam. Ginanja berjalan ke belakang rumahnya, tak jauh dari rumahnya ada kamar mandi sederhana yang dibangun oleh Ayah. Berdinding seng yang dibentuk melingkar dan lantai semen ala kadarnya, kamar mandi itu menjadi kamar mandi sangat berguna untuk keluarganya. Ada tong yang cukup besar untuk menampung air dari sumur, Ayah masih belum mampu membeli mesin Air, jadi Ginanja dan kelurganya harus menimba.
Ginanja menimba air sumur, sekiranya tong air itu berisi sudah, Giananja segera bergegas mandi, mengambil air wudhu, dan melaksanakan sunah agamanya. Ginanja selalu melakukan hal yang sama setiap malamnya, tanpa sepengatauan kelurganya. Jika saja kelurganya tahu, mereka pasti mengira Ginanja tengah dirasuki, karena Ginanja dan sajadah bukanlah hal yang dapat menjadi satu.
Ginanja tidak marah dengan keluarganya atas penilain dirinya, nyatanya Ginanja dan sajadah memang tidak seharmonis itu, ia dan tuhannya tidak sedekat itu, petuah agamanya juga tidak selalu ia ikuti, Ginanja hanya mencoba untuk menjadi hamba-Nya yang taat, jika diperkenankan Ginanja juga ingin tau rasanya surga, toh, masuk nereka-pun Ginanaja juga tidak sanggup. Lagipula, kelurganya tidak perlu tahu, ibadah dan amal kehidupannya bukanlah hal yang dapat diukur manusia, hanya tuhannya yang mampu, dan hanya tuhannya pula yang pantas dan boleh menilainya.
Selesai dua rakaat, Ginanja menadahkan tangannya, satu doa yang sama selalu Ginanja panjatkan pada tuhannya, Ginanja berharap yang terbaik pada orangtuanya, Ginanja memang tidak selalu mendengarkan Ayah dan ibunya, namun Ginanja bukan anak yang ingin mendapat predikat Durhaka. Selepas tepanjat doanya, dan terlipat sudah sajadahnya, Ginanja mendengar suara langkah yang mendekat kearah kamarnya. Ginanja menunggu hingga pintu kamarnya terketuk dan seorang memanggil namanya.
“Bang Ginanja,”
Ginanja tersenyum pelan, itu suara Putri, adik perempuannya. Ternyata sudah pukul empat, pantas saja Putri memanggilnya, seperti biasanya, Putri pasti memintanya untuk menemani ke kamar mandi. Ginanja membuka pintu kamarnya, menatap Putri yang tampak ayu walau dengan baju tidur lusuhnya.
“Kenapa Put?” Tanya Ginanja.