Senin 16-08-2021,00:00 WIB

 

“Jasanya kadang tiada, padahal ia yang selalu ada”

>>>>>*****<<<<<

Ginanja berjalan dengan hentakan kaki, sesekali menendang kerikil yang berserak pada jalan yang ia lalui. Dirinya benar – benar merasa kecewa, Putri benar – benar tega meninggalkannya dengan harapan palsu. Saat hari sudah akan menjelang siang, Ginanja berniat memanggil Putri yang hasilnya nihil, Putri meninggalkannya seorang diri di rumah.

“Awas saja, jika kutemukan Putri di kebun nanti akan ku piting kepalanya!” Gerutu Ginanja, Ginanja tengah mengantarkan makan siang ke kebun, jatah makan yang diantar hanya untuk Mbak Senja. Ah, Ginanja lupa menjelaskan. Rata – rata saudaranya sudah menikah, Ginanja tidak tahu pasti tentang Bang Saka, sebab jarang terdengar kabar Bang Saka dari tanah perantauan, belum atau sudahnya Bang Saka menikah, Ginanja tidak tahu.

Sedang Kak Nur dan Mbak Bulan, mereka juga sudah menikah, mereka menikah di tahun yang sama, waktu mereka menikah juga berdekatan. Saat ini Kak Nur tengah hamil anak pertamanya, sedang Kak bulan sudah memiliki anak perempuan yang berusia 3 tahun. Setiap pagi, Kak Nur akan datang kerumah untuk memasak dan membantu Mbak senja mengurus Ginanja, Bang Gangga dan Putri. Mbak Bulan tidak sesering Kak Nur untuk datang kerumah, sebab jarak rumah Mbak Bulan cukup jauh, memakan waktu sekitar 3 jam. Jadi biasanya Mbak Bulan hanya datang di akhir bulan, itupun jarang. Keluarga Ginanja akan lengkap berkumpul saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha tiba.

“Ginanja,” Panggil seorang wanita paruh baya, wajahnya sudah tak lagi muda, terdapat bercak hitam di sekitar pipinya dan lipatan kulit di pinggiran mata, kening dan dagunya. Walau keriput, kecantikan wanita itu tidaklah pudar. Ginanja tersenyum mendapat panggilan dari wanita itu, wanita itu Bude Nora.

“Bude …” Sapa Ginanja melihat Bude Nora menghampirinya. Bude Nora itu wanita yang sangat Ginanja sayangi, alih – alih dengan Ibu, Ginanja lebih dekat dengan Bude Nora. Sejak kecil, Ginanja dirawat oleh Bude Nora, bahkan Ginanja hanya terlibat obrolan beberapa kali dengan Ibu, selebihnya Ginanja akan bercerita segalanya pada Bude Nora.

“Mau ke kebun nak?” Tanya Bude Nora pada Ginanja, Ginanja mengangguka sebagai jawaban. Dilihatnya Bude Nora juga memegang rantang yang bisa Ginanja tebak pasti untuk suami Bude Nora.

“Ayo Bude, Ginanja antarkan sampi ke tempat suami Bude tercinta.” Canda Ginanja sembari mengambil alih rantang yang ada pada Bude Nora.

“Eh, Eh, tidak usah. Bude pergi sendiri saja, kasian Mbak-mu Senja menunggu,” Tolak Bude Nora.

“Sudahlah Bude. Ayo!!” Ginanja menggandeng tangan Bude Nora, lagipula jarak kebun keluarganya dan sawah Bude Nora tidaklah jauh, walaupun Ginanja harus berputar – putar jika mengantar Bude Nora lebih dulu. Bude Nora dan suaminya itu bekerja sebagai petani, sawahnya memang tidak besar tapi cukup memiliki keuntungan yang banyak. Berbeda dengan keluarga Ginanja yang hidup dengan berkebun. Keluarga Ginanja memliki beberapa kebun yaitu kebun rambutan, kebun langsat dan kebun karet. Pengahasilan utamanya ada di kebun karet.

Ginanja senang berjalan bersama dengan Bude Nora, walau Bude Nora tidak selalu menyambung dengan ceritanya, Bude Nora tidak akan pernah memprotes perkataanya, Bude Nora akan tersenyum hangat dan setia mendengarkan Ginanja. Jika – jika perkataan Ginanja terasa salah untuk Bude Nora, Bude Nora tidak akan menghakiminya langsung, Bude Nora akan bertanya pasti lalu menasehati Ginanja agar tidak pernah lagi melakukan hal yang sama lagi yang terjadi pada ceritanya.

“Bude, kaki Bude kan masih sakit, besok suruh Ginanja saja sekalian membawakan makanan suami Bude tercinta itu.” Ingat Ginanja. Ginanja khawatir dengan kesehatan Bude akhir – akhir ini, seringkali Ginanja lihat Bude mengeluh dengan kakinya yang terus saja terasa sakit dan membengkak sesekali.

“Bude masih sehat, tak usah dikhawatirkan.” Bude tersenyum hangat menggandengan tangan Ginanja, “dan panggillah Pakde-mu itu benar – benar,” Nasehat Bude, menepuk tangan Ginanja pelan.

Tags :
Kategori :

Terkait