Begitu masuk LP3ES, Wijayanto mendirikan center yang dipimpinnya itu. Yang menerbitkan buku tadi. Yang melakukan penelitian tentang buzzer tadi.
Wijayanto orang Demak. Ia alumnus SMAN 2 kota itu. Lalu masuk FISIP di Universitas Diponegoro, Semarang. Ilmu politiknya itu diperdalam di Amerika Serikat. Yakni di University of Wyoming. Sampai lulus S2 bidang media dan politik.
Dari Amerika Wijayanto masuk S3 di Universitas Leiden, Belanda. Penelitiannya dilakukan di Indonesia. Disertasinya tentang media: Hubungan Harian Kompas dengan Pemerintah. Sejak Kompas dilahirkan di tahun 1965 sampai 2015.
Pun sampai sekarang Wijayanto masih mengamati Kompas. Ia memang doktor yang terus mendalami persoalan media dan politik.
Kompas, kata Wijayanto, pernah menulis berita utama berjudul: Pilkada Tidak Langsung Akan Jadi Warisan Buruk SBY.
Waktu itu pemerintahan SBY memang lagi mengajukan RUU baru: agar Pilkada tidak perlu lagi secara langsung. Cukup kembali lewat DPRD.
SBY, kata Wijayanto, merenungkan berita utama Kompas itu. Lalu membatalkan RUU tersebut. Semua itu ia ketahui lewat wawancara orang-orang dekat SBY.
Tahun lalu, kata Wijayanto, Kompas juga memuat berita utama dengan judul mirip itu: Revisi UU KPK Akan Jadi Warisan Buruk Jokowi.
Hasilnya: UU KPK tetap saja direvisi.
Di media saat ini, kata Wijayanto telah terjadi “manipulasi opini publik”. Hasil nyata dari manipulasi opini publik itu salah satunya revisi UU KPK tersebut. Termasuk lewat penciptaan tagar #KPKdanTaliban. Itu untuk menggambarkan citra buatan bahwa di dalam KPK penuh dengan ekstremis.
Opini publik, kata Wijayanto, begitu terpengaruh. Ketika Kompas melakukan jajak pendapat, hasilnya mengejutkan: yang setuju revisi 44,9 persen. Sedang yang mempertahankan UU KPK hanya 39,9 persen.
LP3ES telah melakukan penelitian mendalam soal itu. Termasuk melakukan SNA –sosial network analisis.
Dalam ”organisasi” buzzer, kata Wijayanto, ada yang disebut front liner, koordinator, dan tangan kanan politikus. “Kami sampai mengetahui siapa mereka,” ujar Wijayanto.
Di barisan front liner, katanya, terdiri dari berbagai bidang. Ada yang tugasnya menciptakan meme, grafik, narasi kata-kata, mem-posting, dan memperbanyak. Mereka ini umumnya orang yang direkrut lewat bayaran antara Rp 2 juta sampai Rp 3 juta per bulan. Atau ratusan ribu rupiah per minggu.
Di atas mereka adalah koordinator. Tapi para front liner itu tidak tahu siapa nama koordinator mereka.
“Di atas koordinator itu belum langsung si politikus. Tapi tangan kanan politikus,” ujar Wijayanto. “Akhirnya kami tahu tagar apa arahnya ke politikus dari mana,” tambahnya.