“Aku nggak pernah pergi dari kamu, Serena. Aku selalu berusaha ada untuk kamu, sebagai suadara, sahabat dan keluarga, jangan pernah merasa sendirian.”
Sakit.
Serena merasakan sakit luar biasa di dalam hatinya, rasanya sesak, mengapa ucapan Ginanja begitu menyakiti dirinya. Perlahan, telaga mulai terbentuk di pelupuk mata Serena, hingga akhirnya telaga itu tumpah membasahi wajahnya. Serena terisak, menahan tangisnya, namun kali ini terasa begitu menyakitkan, bahkan lebih dari saat dirinya merasa sakit kala dibuang oleh orangtuanya.
Serena ingin marah, hanya saja dirinya tidak lagi memilki tenaga untuk meluapkan amarahnya, Serena kecewa, dirinya kecewa pada Ginanja, sekaligus sedih dengan situasi yang ia alami kini. Namun mengapa? Ginanja tidaklah salah dengan perkataannya, lalu mengapa semua perasaan ini begitu menganggu Serena.
Suara tangis Serena akhirnya lepas, air matanya tumpah mewakilkan segala perasaan yang ada di hatinya. Menyakitkan, Serena bahkan tidak yakin bahwa dirinya akan mampu melewati segalanya. Serena tidak takut untuk membawa luka ini terus bersamanya, Serena ragu. Akankah Serena bisa mengubur perasaanya pada Ginanja, kala Ginanja sendiri selalu ada di sisinya.
“Serena,”
“Maafkan Ginanja,”
Bisakah? Serena tertawa pelan dalam tangisnya, perlahan lelah mulai mendekapnya, gelap mulai menyelimuti pandangannya. Serena tidak akan pernah memaafkan Ginanja, karena bagaimana bisa Serena memaafkan seseorang yang bahkan tak pernah menyakiti dirinya. Serena hanya terlalu egois, ia ditelan dan dikecewakan oleh egonya sendiri. Serena Hancur sebab harapannya yang sedari awal ia tahu bahwa itu tidak akan pernah ada, tidak akan pernah terjadi. (*)
bersambung