Dari 5.000 siswa, 3.000 adalah anak-anak yang pintar dan miskin – kuliah dari beasiswa.
Dr Zul sangat pandai mencari beasiswa. Posisinya sebagai anggota DPR (tiga periode) banyak membantu. “Setiap anggota DPR memiliki jatah (rekomendasi) untuk misi maksimal 100 orang. Saya meminta beberapa teman DPR untuk menyerahkan sebagian jatahnya kepada saya,” kata Zul. Ditambah berbagai sumber beasiswa lainnya.
Bahkan saat menjadi Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Dr Zul mengatakan: harus mencetak 1.000 lulusan magister dan doktor di luar negeri.
Maka dengan anggaran NTB, gubernur giat mengirimkan mahasiswa ke luar negeri. Agar tidak mahal, negara seperti Polandia dipilih. Kualitas pendidikannya bagus tapi beasiswanya murah.
Ngobrol malam itu terlalu menyenangkan. Senin pagi saya kembali ke kampus. Saya sempat berdiskusi dengan rektor: Dr. Chairul Hudaya. Dia dari Sukabumi. Gelar doktornya diperoleh di Korea Selatan.
Tentu saja saya juga melihat keindahan perbukitan yang berpadu dengan persawahan di kampus. Memang ada saluran irigasi teknis yang bagus di sana. Dibangun pada masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri. Sawah juga menjadi subur.
Dari kampus, saya ingin bertemu dengan mahasiswa asing di Global Village. Saya harus berjalan 1 Km di jalan kecil di tengah sawah. Tidak ada kendaraan yang boleh menyeberang jalan: kecuali kendaraan listrik. UTS memang sudah memproduksi sepeda listrik: NgebUTS – dan saya sudah mencobanya.
Di ujung jalan: sungai kecil berbatu. Tanpa jembatan. Aku harus melewatinya: lepas sepatumu. Di seberang sungai ada dua ekor kerbau putih yang dengan takjub melihat betapa ketakutannya kami dengan air yang sedikit itu.
Malam seelumnya, 5 mahasiswa asing bergabung dalam obrolan kami dengan Dr. Zul: Sasa, gadis kulit putih dari Belarus, Nurul Huda dari Lebanon, Mauro Nicolas Scabuzzo dari Argentina, dan Safi dari Iran.
Tapi Senin pagi saya hanya bertemu Mauro dan Nurul Huda. Yang lain sibuk kuliah. Nurul Huda menarik: namanya sama dengan nama masjid terbesar di Sumbawa Besar. Ia lahir di Libanon. Hebat di Libanon. Ayahnya lahir di Libanon. Tapi dia tidak bisa menjadi warga negara Lebanon. Nurul dianggap sebagai warga negara Palestina. “Itu karena kakek saya lahir di Gaza,” katanya. “Jadi paspor saya adalah paspor Palestina,” kata Nurul.
“Pernah ke Palestina?” tanya saya.
“Tidak pernah,” jawabnya.
“Pernah ke Gaza,” aku bertanya dengan tegas.
“Tidak pernah,” dia bersikeras.
Dia adalah warga negara Palestina, memiliki paspor Palestina tetapi belum pernah melihat orang Palestina.
Jadi di UTS ada mahasiswa Katolik dari Argentina, mahasiswa Ortodoks dari Belarusia, Islam Syiah dari Iran. Ada juga Hindu dari Bali, dan Buddha.