Mungkin saja. Tentu lebih sulit lagi. Terutama untuk mendapatkan tapak jembatan di sisi Banten.
Waktu itu tapak jembatan tersebut direncanakan di lokasi yang siapa pun tidak mengira: Mojo. Luasnya 10.000 hektare. Wujudnya masih hutan karet. Mudah membebaskannya.
Lokasi tapak itu masih sekitar 10 Km dari pantai –jauh di selatan Merak.
Begitu jauh?
Tentu. Tinggi jembatan itu bisa 100 meter. Naiknya tidak boleh tajam. Ancang-ancangnya sejak 10 Km sebelumnya.
Demikian juga di sisi Lampung –yang mencari lahan 10.000 hektare tidak sulit di sana.
Lokasi Mojo itu kini sudah bukan kebun lagi. Para pemburu tanah sudah mulai menguasainya: termasuk yang terkait dengan kasus Jiwasraya.
Kalau pun akan ada jembatan Selat Sunda, sudah pasti pula bukan Tomy Winata investornya. Tomy sudah memasukkan semua perencanaan itu ke museum pribadi di otaknya.
Di atas kapal itu saya pun segera melupakan Tomy. Saya menyendiri di ruang VIP. Hanya ada kami bertiga di situ: saya belum menulis naskah untuk Disway edisi esok hari. Juga belum memilih komentar pilihan.
Senja itu saya bisa istirahat sambil menulis.
Tak terasa di luar sudah gelap. Sebelum menulis saya ingin sekali mengirim WA ke dirut ASDP yang hebat itu: Mbak Ira. Bukan untuk memujinyi. Hanya untuk curhat: colokan HP di ruang itu jadul sekali. Padahal, di zaman ini, colokan HP lebih penting dari pantun terbaik Aryo sekali pun.
Saya batalkan rencana itu. Terlalu sepele soal colokan untuk diketahui seorang dirut. Saya juga tidak mau dinilai menjadi penumpang yang cerewet.