DISWAY BARU

Berikut Penjelasan Kemenag Terkait Soal Penetapan Waktu Subuh di Indonesia

Berikut Penjelasan Kemenag Terkait Soal Penetapan Waktu Subuh di Indonesia

Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat-Dok Kemenag-

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO.ID- Kementerian Agama (Kemenag) menjelaskan dasar ilmiah dan fikih penetapan waktu Subuh di Indonesia, menyusul mencuatnya kembali perdebatan publik mengenai derajat posisi Matahari sebagai penanda terbitnya Fajar Shadiq.

Penetapan jadwal salat nasional ditegaskan bukan hasil perkiraan semata, tetapi merupakan hasil ijtihad kolektif yang menggabungkan kajian astronomi, verifikasi lapangan, dan rujukan fikih dari literatur klasik hingga kontemporer.

BACA JUGA:Jaga Ketersediaan BBM dan LPG, Pertamina Percepat Pemulihan Layanan Energi di Aceh, Sumut, dan Sumbar

Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat, menjelaskan bahwa para ulama fikih telah mendeskripsikan Fajar Shadiq sebagai cahaya putih horizontal yang muncul di ufuk timur dan terus bertambah terang. Deskripsi ini, menurutnya, menjadi dasar syar’i yang harus diverifikasi dengan pendekatan astronomi modern.

BACA JUGA:Dukung Pemulihan Kelistrikan di Aceh, Pertamina Pasok BBM untuk Genset

“Fikih memberi definisi, astronomi membantu mengukur. Sinergi keduanya penting agar penetapan ibadah memiliki dasar yang lengkap,” ujarnya di Jakarta, Senin (1/12/25). Arsad menegaskan pemilihan derajat sekitar –20° telah melalui forum diskusi, musyawarah pakar falak, dan kajian fikih lintas mazhab.

BACA JUGA:Harga TBS Kelapa Sawit Sumbar Naik, Per Kilonya Rp3.512,53, Ini Daftar Harga TBS 1-7 Desember 2025

Arsad memaparkan bahwa karakter atmosfer Indonesia yang berada di kawasan tropis memengaruhi intensitas dan hamburan cahaya fajar. Tingkat kelembaban, ketebalan atmosfer, hingga polusi cahaya turut membentuk kurva cahaya fajar yang berbeda dengan wilayah lintang sedang. Di sejumlah titik observasi yang dilakukan bertahun-tahun, cahaya Fajar Shadiq berulang kali terdeteksi pada rentang –19° hingga –20°.

BACA JUGA:Bencana Banjir di Aceh Utara, Anggota DPD RI: 350 Rumah dari Satu Desa Hilang

“Inilah sebabnya verifikasi lokal menjadi sangat penting. Kita tidak bisa hanya mengadopsi standar negara lain tanpa pengujian,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa Kemenag tidak pernah menutup ruang dialog ilmiah. Semua dokumen pengamatan, foto, data lapangan, serta hasil uji tim tersedia untuk dikaji para peneliti falak maupun ormas Islam. Tuduhan manipulasi data, kata Arsad, bertentangan dengan fakta dokumentasi yang telah dipublikasikan.

BACA JUGA:Bencana Alam di Sumut, Korban Meninggal Dunia Bertambah Jadi 318 Orang

“Seluruh proses dilakukan dengan kehati-hatian, akuntabilitas, dan keterbukaan. Negara tidak berkepentingan apa pun selain memastikan ibadah umat terlaksana dengan benar,” katanya.

Menurut Arsad, perbedaan penentuan derajat di kalangan peneliti maupun ormas Islam sejatinya adalah bagian dari dinamika ijtihad ilmiah yang wajar. “Ada yang mendapatkan –18°, ada yang –12° atau –13°. Perbedaan itu harus dihargai sebagai ikhtiar keilmuan. Namun negara perlu mengambil satu keputusan yang memberi kepastian hukum dan ketenangan beribadah. Keputusan tersebut kami ambil berdasarkan data empiris lokal dan kajian fikih yang mendalam,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: